Sabtu, 4 Oktober 2025

Konflik Rusia Vs Ukraina

5 Hal yang Mungkin Dilakukan Rusia untuk Tundukkan Ukraina, Kepung Pasukan Zelensky di Sebelah Timur

Berikut ini lima hal yang mungkin akan dilakukan Rusia untuk membuat Ukraina tunduk.

AFP/RAMIL SITDIKOV
Presiden Rusia Vladimir Putin menyapa penonton saat menghadiri konser yang menandai ulang tahun kedelapan pencaplokan Krimea oleh Rusia di stadion Luzhniki di Moskow. Berikut adalah lima hal yang mungkin akan dilakukan Rusia untuk menundukkan Ukraina. 

TRIBUNNEWS.COM - Invasi Rusia ke Ukraina sudah memasuki satu bulan sejak dimulai pada 24 Februari 2022 lalu.

Kendati demikian, kemajuan pasukan Rusia tampaknya melambat.

Bahkan, menurut laporan sejumlah pihak, serangan Rusia di Ukraina tak berjalan sesuai rencana.

Pasukan Rusia terus mengandalkan kekuatan udara untuk menghancurkan kota-kota dan menargetkan warga sipil sebagai upaya mendorong Ukraina agar tunduk.

Berikut adalah lima hal yang mungkin akan dilakukan Rusia untuk menundukkan Ukraina, dikutip dari CNN:

Baca juga: Rusia Berharap Damai dengan Ukraina, tapi Tegaskan Tak Ada Tawar-Menawar demi Kepentingannya

Baca juga: Profil Alexey Navalny, Kritikus Putin Paling Vokal yang Dinyatakan Bersalah atas Penipuan

1. Rusia bisa saja mengintensifkan serangan bomnya

Asap mengepul setelah serangan Rusia di pusat perbelanjaan Retroville dan distrik perumahan Kyiv pada 21 Maret 2022. - Sedikitnya enam orang tewas dalam pemboman semalam di sebuah pusat perbelanjaan di ibukota Ukraina, Kyiv, kata seorang wartawan AFP, dengan tim penyelamat. menyisir puing-puing untuk mencari korban lainnya. (Photo by ARIS MESSINIS / AFP)
Asap mengepul setelah serangan Rusia di pusat perbelanjaan Retroville dan distrik perumahan Kyiv pada 21 Maret 2022. - Sedikitnya enam orang tewas dalam pemboman semalam di sebuah pusat perbelanjaan di ibukota Ukraina, Kyiv, kata seorang wartawan AFP, dengan tim penyelamat. menyisir puing-puing untuk mencari korban lainnya. (Photo by ARIS MESSINIS / AFP) (AFP/ARIS MESSINIS)

Para ahli memperingatkan bahwa semakin banyak serangan Rusia di darat, maka semakin besar kemungkinannya untuk mengintensifkan serangan bom udara dan penggunaan senjata "darurat" lainnya, yang membuat tentara Vladimir Putin terhindar dari bahaya.

Baru-baru ini, tabloid Rusia, Komsomolskaya Pravda, merilis setidaknya hampir 10.000 pasukan Putin tewas dan 16.000 lainnya terluka.

Namun, artikel tersebut kemudian dihapus dengan klaim situs mereka telah diretas.

CNN tidak dapat memverifikasi jumlahnya, tapi menurut laporan Badan Intelijan Amerika Serikat (AS), jumlah korban tewas Rusia mendekati angka tersebut.

Jika terbukti benar, akan menjelaskan mengapa pergerakan tentara Rusia di darat terhenti dan mereka meningkatkan serangan lewat udara di kota-kota utama.

Seorang pejabat senior pertahanan AS, mengatakan Rusia mulai menembaki Mariupol dari kapal-kapal di Laut Azov.

“Rusia masih memiliki kemampuan dan cadangan, dan akan ada peningkatan intensitas karena berusaha membawa lebih banyak pasukan,” ujar Jeffrey Mankoff, seorang peneliti terkemuka di Institut Studi Strategis Nasional Universitas Pertahanan Nasional AS.

Laporan Kementerian Pertahanan Inggris baru-baru ini mengatakan bahwa Rusia menarik pasukannya dari seluruh negeri.

Pertanyaannya adalah berapa lama Rusia dapat melanjutkan perang sementara mereka kehilangan banyak personel.

"Akan ada lebih banyak pasukan dan peralatan lain serta bantuan, tentu saja. Tetapi, ada titik di mana akan sulit untuk mempertahankan tempo operasional semacam ini."

"Terutama angka-angka (korban) yang telah kami dengar baik dari segi manusia dan kerugian materi, melebihi kemampuan untuk memasok," kata Mankoff.

Baca juga: Daftar 6 Negara yang Masih Ingin Bersahabat dengan Rusia saat Putin Serang Ukraina, Siapa Saja?

2. Rusia mungkin mencoba mengepung pasukan Ukraina di timur

Gambar selebaran ini diambil dan dirilis oleh Layanan Pers Layanan Darurat Negara Ukraina pada 21 Maret 2022 menunjukkan petugas pemadam kebakaran memadamkan api skala besar di sebuah gudang makanan di Severodonetsk, wilayah Luhansk, yang hancur setelah penembakan Rusia.
Gambar selebaran ini diambil dan dirilis oleh Layanan Pers Layanan Darurat Negara Ukraina pada 21 Maret 2022 menunjukkan petugas pemadam kebakaran memadamkan api skala besar di sebuah gudang makanan di Severodonetsk, wilayah Luhansk, yang hancur setelah penembakan Rusia. (STR / Layanan Pers Layanan Darurat Negara Ukraina / AFP)

Ada banyak pembicaraan tentang upaya perang Rusia yang terhenti, tapi apakah itu benar atau tidak, tergantung pada tujuan awal Moskow.

Bahkan, sulit diketahui secara pasti karena pembenaran publik atas invasi Rusia adalah propaganda yang jelas, denazifikasi Ukraina misalnya.

Kemungkinan besar, Rusia akan mencoba menyerang bagian timur Ukraina.

Daerah seperti Donetsk dan Luhansk, yang membentuk wilayah Donbas, telah dikendalikan separatis dan didukung Rusia sejak 2014 saat Moskow mencaplok Krimea.

Sementara Rusia menekan Kyiv, sebagian besar tentara Ukraina tetap berada di dekat Donetsk dan Luhansk, di mana mereka dikelompokkan sebagai Operasi Pasukan Gabungan (JFO).

Pergerakan pasukan Rusia menunjukkan mereka mencoba mengepung JFO dari tiga arah, dan ini kemungkinan akan menjadi fokus utama Rusia.

Hal ini jelas terlihat dari kecanggihan pasukan yang dikirim ke sana, kata Sam Cranny-Evans, seorang analis riset di Royal United Services Institute.

"Distrik Militer Selatan --di Donetsk, Luhansk, Mariupol, Berdyansk, Melitopol - ini adalah pasukan terbaik di tentara Rusia. Dan mereka selalu bekerja. Mereka dirancang untuk melawan NATO," ujar Cranny-Evans kepada CNN.

Ia menambahkan bahwa media Barat begitu terfokus pada kerugian Rusia dan perlawanan Ukraina sehingga memberikan pengertian yang salah tentang dinamika perang.

“Jika kita melihat peta ini, jelas bahwa kemajuan pasukan Rusia sebenarnya telah jauh. Mereka telah mengambil alih beberapa kota, jadi sekarang ada lebih banyak warga Ukraina yang hidup di bawah kekuasaan Rusia dibanding tiga minggu lalu," kata Cranny-Evans.

"Terlepas dari berapa banyak kendaraan Rusia yang diledakkan, atau berapa banyak tentara Rusia yang tewas, kemungkinan besar juga ada banyak orang Ukraina yang mengalami nasib serupa."

Baca juga: Kata China soal Invasi Rusia ke Ukraina: Waktu akan Membuktikan Kami Berada di Pihak yang Benar

3. Akan ada lebih banyak diskusi tentang pembicaraan

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kanan) bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membuat pernyataan setelah pembicaraan mereka di Kyiv pada 3 Februari 2022. - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 3 Februari 2022 menawarkan kunjungan ke Kyiv untuk mengadakan Ukraina- KTT Rusia, ketika para pemimpin Uni Eropa meningkatkan jangkauan ke Kremlin untuk meredakan kekhawatiran Moskow dapat menyerang. (Photo by Sergei SUPINSKY / AFP)
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kanan) bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membuat pernyataan setelah pembicaraan mereka di Kyiv pada 3 Februari 2022. - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 3 Februari 2022 menawarkan kunjungan ke Kyiv untuk mengadakan Ukraina- KTT Rusia, ketika para pemimpin Uni Eropa meningkatkan jangkauan ke Kremlin untuk meredakan kekhawatiran Moskow dapat menyerang. (Photo by Sergei SUPINSKY / AFP) (AFP/SERGEI SUPINSKY)

Salah satu skenario terburuk adalah perang Ukraina bisa menjadi konflik yang berlarut-larut.

Kemungkinan besar Rusia telah kehilangan sejumlah besar tentara, senjata, dan peralatan dalam perang.

Meskipun telah terlibat dalam konflik yang berlangsung lama di masa lalu, Rusia tidak akan mau membiarkan militernya hancur total.

"Negosiasi adalah satu area di mana hal-hal tampak sedikit menjanjikan karena baik Rusia dan Ukraina telah mengatakan pada minggu lalu, mereka bergerak menuju diskusi substantif yang sebenarnya, alih-alih ultimatum Rusia," terang Keir Giles, seorang Pakar Rusia di lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di Inggris, kepada CNN.

Para pejabat Rusia mengatakan, tuntutan mereka termasuk agar Ukraina membatalkan langkahnya untuk bergabung dengan NATO, serta untuk mendemiliterisasi dan mengadopsi status "netral", seperti yang dimiliki Austria dan Swedia. Tetapi. kondisi tersebut harus dinegosiasikan.

Kepala juru bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov, mengatakan kepada CNN dalam sebuah wawancara Selasa (22/3/2022), Rusia juga ingin Ukraina menerima bahwa Krimea secara resmi menjadi bagian dari Rusia.

Juga, negara bagian Luhansk dan Donetsk yang memisahkan diri "sudah menjadi negara-negara merdeka."

Banyak ahli berspekulasi bahwa Rusia akan mencari cara untuk mengambil alih bagian timur Ukraina.

“Jika ini adalah pertanyaan tentang siapa yang dapat mencurahkan sumber daya dan menanggung penderitaan yang lebih besar untuk menang, Rusia punya rekam jejak untuk menimbulkan kerusakan ekonomi yang substansial pada mereka sendiri dan penderitaan pada penduduknya sendiri, untuk meneruskan perang,” tutur Giles, merujuk pada sanksi yang mulai menggigit perekonomian Rusia.

Namun, para pejabat AS tidak begitu optimistis pembicaraan akan berjalan baik.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan pada konferensi pers pekan lalu bahwa solusi diplomatik untuk perang tidak mungkin terjadi.

Ia mengatakan bahwa tindakan Rusia "sangat kontras dengan upaya diplomatik yang serius untuk mengakhiri perang."

Ia juga mennyebut Rusia akan meningkatkan perang dengan menggunakan senjata kimia.

Baca juga: Sebulan Terakhir, 1.200 Lebih Warga Donetsk, Lugansk, dan Ukraina Diberi Suaka Sementara di Rusia

4. Mungkin ada "deportasi" besar-besaran orang Ukraina ke Rusia, dan ini mengkhawatirkan

Pengungsi dari Mariupol terlihat setibanya di tempat parkir pusat perbelanjaan di pinggiran kota Zaporizhzhia, yang sekarang menjadi pusat pendaftaran pengungsi, pada 16 Maret 2022. - Sekitar 20.000 warga telah diizinkan meninggalkan Mariupol melalui koridor kemanusiaan yang disepakati dengan pasukan Rusia. Tetapi para pengungsi yang kelelahan dan menggigil berbicara tentang perjalanan melarikan diri yang mengerikan dan mayat-mayat yang membusuk berserakan di jalan-jalan. Mariupol menghadapi bencana kemanusiaan menurut badan-badan bantuan, karena pemboman besar-besaran telah menyebabkan sekitar 400.000 penduduk tidak memiliki air mengalir atau pemanas dan makanan hampir habis. Lebih dari 2.100 penduduk tewas di Mariupol sejak invasi Rusia, menurut otoritas kota. (Photo by Emre CAYLAK / AFP)
Pengungsi dari Mariupol terlihat setibanya di tempat parkir pusat perbelanjaan di pinggiran kota Zaporizhzhia, yang sekarang menjadi pusat pendaftaran pengungsi, pada 16 Maret 2022. - Sekitar 20.000 warga telah diizinkan meninggalkan Mariupol melalui koridor kemanusiaan yang disepakati dengan pasukan Rusia. Tetapi para pengungsi yang kelelahan dan menggigil berbicara tentang perjalanan melarikan diri yang mengerikan dan mayat-mayat yang membusuk berserakan di jalan-jalan. Mariupol menghadapi bencana kemanusiaan menurut badan-badan bantuan, karena pemboman besar-besaran telah menyebabkan sekitar 400.000 penduduk tidak memiliki air mengalir atau pemanas dan makanan hampir habis. Lebih dari 2.100 penduduk tewas di Mariupol sejak invasi Rusia, menurut otoritas kota. (Photo by Emre CAYLAK / AFP) (AFP/EMRE CAYLAK)

Rusia telah memberi tahu penduduk Mariupol untuk pergi karena mereka melakukan serangan bom udara yang agresif, yang telah menghancurkan kota itu.

Pasukan Putin telah membuka apa yang mereka sebut "koridor kemanusiaan" untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri, tetapi puluhan ribu penduduk Mariupol telah diangkut ke Rusia.

Organisasi media pemerintah Rusia, RIA Novosti, melaporkan hampir 60.000 penduduk Mariupol telah mencapai wilayah Rusia "dengan selamat sepenuhnya."

Media Rusia telah menunjukkan barisan kendaraan yang tampaknya menuju ke timur ke arah perbatasan, sekitar 40 kilometer dari Mariupol.

Namun, Dewan Mariupol menuduh Rusia memaksa warga untuk pergi ke Rusia di luar keinginan mereka.

"Selama seminggu terakhir, beberapa ribu penduduk Mariupol telah dibawa ke wilayah Rusia," kata kota itu dalam sebuah pernyataan.

Wali Kota Mariupol, Vadym Boichenko, pada Sabtu (19/3/2022), mengatakan, "Apa yang dilakukan penjajah hari ini sangat familiar bagi generasi tua, yang melihat peristiwa mengerikan Perang Dunia II, ketika Nazi menangkap orang secara paksa."

Giles mengatakan ada kekhawatiran akan terulangnya kembali sejarah kelam itu dalam beberapa minggu mendatang.

“Rusia memiliki sejarah pembalasan yang kejam dan biadab terhadap warga sipil di area mana pun ketika mereka melakukan perlawanan. Mereka mulai mendeportasi orang dari Mariupol ke bagian terpencil Rusia,” ujarnya.

Giles merujuk pada "deportasi" ratusan ribu orang dari negara-negara Baltik seperti Estonia, Latvia, dan Lituania, yang dianeksasi Rusia ke Uni Soviet pada awal Perang Dunia II.

"'Deportasi' adalah eufemisme, telah digunakan sebagai istilah yang cukup berbahaya untuk apa yang terjadi pada orang-orang ini (yang dideportasi). Mereka umumnya bernasib mengerikan. Jika mereka selamat, mereka tidak kembali selama bertahun-tahun atau puluhan tahun."

Baca juga: Rangkuman Invasi Rusia ke Ukraina Hari ke-28: Serangan di Mariupol, Belarus Bergabung dalam Perang

5. Jutaan orang Ukraina bisa melarikan diri, membuat negara hancur berkeping-keping

Pengungsi dari Ukraina berbaris untuk masuk ke Polandia melalui penyeberangan perbatasan di Medyka, di Polandia timur pada 28 Februari 2022
Pengungsi dari Ukraina berbaris untuk masuk ke Polandia melalui penyeberangan perbatasan di Medyka, di Polandia timur pada 28 Februari 2022 (WOJTEK RADWANSKI / AFP)

Sama seperti kekuatan udara Rusia yang membuat beberapa kota di Suriah menjadi puing-puing, beberapa bagian wilayah Ukraina mulai terlihat sama.

Sudah lebih dari 3,5 juta orang Ukraina meninggalkan negara itu. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak.

Perang telah memicu pergerakan pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Jumlah itu meningkat sekitar 100.000 orang per hari.

Jika Anda memasukkan jumlah orang yang terlantar, 10 juta orang Ukraina kini telah meninggalkan rumah mereka. Jumlah itu hampir seperempat dari populasi negara itu.

Apa yang ditunjukkan oleh perang di masa lalu adalah bahwa para pengungsi sering kali tidak pernah kembali ke negara asal mereka.

Gelombang pengungsi adalah sesuatu yang perlu dipikirkan oleh para negosiator dalam setiap pembicaraan yang akan datang.

Bahkan, jika sampai pada kesepakatan solusi diplomatik untuk mengakhiri perang ini, pertanyaan yang akan tetap ada adalah apakah itu cukup untuk mencegah gelombang pengungsi yang berikutnya, kata Cranny-Evans.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved