Suarakan Demokrasi, Anggota Parlemen Oposisi Hong Kong Ramai-ramai Mundur dari Jabatannya
Anggota parlemen oposisi Hong Kong ramai-ramai resmi mengajukan pengunduran diri pada Kamis (12/11/2020).
TRIBUNNEWS.COM - Anggota parlemen oposisi Hong Kong ramai-ramai resmi mengajukan pengunduran diri pada Kamis (12/11/2020).
Mereka melakukan langkah ini sebagai protes terhadap pemecatan empat rekan mereka sebelumnya.
Dilansir Reuters, anggota parlemen oposisi dipandang sebagai perwakilan suara pro-demokrasi moderat di Hong Kong.
Kepergian dari pihak oposisi ini otomatis menghilangkah jalan menuju demokrasi Hong Kong, yang diimpikan banyak warga di sana.
Sebelumnya, China dengan UU Keamanan Nasional yang diperkenalkan pada 30 Juni dan pembatasan Covid-19 telah membatalkan protes pro-demokrasi yang dimulai sejak tahun lalu.
Pengunduran diri ini diharapkan akan diserahkan secara individual di Dewan Legislatif atau Legco.
Baca juga: 3 dari 7 Direksi Tokyo Dome Jepang Diminta Mundur Investor Hong Kong
Baca juga: Mulai Hari ini, Garuda Indonesia Melayani Rute Penerbangan Khusus Kargo Denpasar-Hong Kong

Generasi muda pendukung pro-demokrasi di Hong Kong memang memilih pendekatan yang konfrontatif.
Walaupun tidak bisa dijamin apakah aktivis garis keras akan lolos dari pihak berwenang, agar bisa menantang pemilihan mendatang.
"Saya tidak pernah menganggap tinggi para demokrat, tetapi sekarang mereka semua telah mengundurkan diri, kami bahkan tidak memiliki siapa pun di pihak kami dengan hak suara di Legco," kata Jasmine Yuen, mahasiswi 21 tahun.
"Satu tahun lalu saya sangat marah dan saya berada di luar sana saat protes."
"Tapi sekarang saya mati rasa untuk acara ini. Saya kehilangan gairah dan semangat saya. Saya tidak berpikir ada yang tersisa untuk dilakukan," katanya.
Pada Rabu (11/11/2020), Parlemen China mengeluarkan resolusi yang memungkinkan otoritas Hong Kong memecat legislator yang dinilai tidak baik.
Maksudnya yakni legislator yang dianggap mengancam keamanan nasional atau tidak setia dengan Hong Kong.
Pemecatan itu bisa dilakukan tanpa melalui pengadilan.

Tak lama setelah itu, pemerintah daerah mengumumkan diskualifikasi empat anggota majelis yang sebelumnya dilarang mencalonkan diri kembali karena pihak berwenang menganggap janji setia mereka kepada Hong Kong tidak tulus.
"Ini adalah contoh lain dari Partai Komunis China yang menginjak-injak apa yang tersisa dari demokrasi di Hong Kong," kata Chris Patten, gubernur keturunan Inggris terakhir di kota itu, dalam sebuah pernyataan.
"Sekali lagi, rezim (Presiden) Xi Jinping telah menunjukkan permusuhan total terhadap akuntabilitas demokrasi dan mereka yang ingin mempertahankannya," tambahnya.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengatakan pemecatan secara paksa itu merupakan serangan terhadap kebebasan Hong Kong.
Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O'Brien mengatakan langkah tersebut menunjukkan Partai Komunis China (PKC) telah "secara mencolok melanggar komitmen internasionalnya."
"Satu Negara, Dua Sistem sekarang hanyalah selubung daun ara yang menutupi kediktatoran satu partai PKT yang sedang berkembang di Hong Kong," kata O'Brien.
Baca juga: Ekonom Tidak Peduli Trump atau Biden, Soroti Impor Barang China Melonjak
Baca juga: Single Day atau Hari Jomblo yang Diperingati 11 November, Ini Sejarah dan Event Besar di China

Jerman dan Australia juga mengutuk resolusi tersebut.
Resolusi itu menyoroti pengaruh Beijing kepada Hong Kong, pusat perekonomian Asia.
Media pemerintah China memuji keputusan resolusi itu sebagai langkah tertunda menuju kembalinya perdamaian dan kemakmuran di Hong Kong yang menyoroti perlunya pusat keuangan global untuk 'diatur oleh patriot.'
Nasib oposisi diragukan sejak pemerintah menunda pemilihan legislatif September selama satu tahun, dengan alasan virus corona.
Langkag ini dinilai bertujuan untuk membunuh momentum pro-demokrasi di Hong Kong.
Awal bulan ini, polisi menangkap delapan anggota parlemen pro-demokrasi lainnya karena pertengkaran selama pertemuan legislatif pada Mei.
"Kota ini sedang sekarat. Sudah sekarat selama beberapa waktu. Sekarang kami bahkan lebih mirip ke China," kata siswa berusia 20 tahun Calvin Fan.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)