Virus Corona
Dinasihati WHO Agar Perkecil Penularan Wabah, Brasil Malah Ancam Akan Keluar dari Anggota WHO
Presiden Brasil, Jair Bolsonaro mengancam akan keluar dari WHO, setelah diperingatkan risiko wabah corona bila negara dibuka terlalu cepat.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Brasil, Jair Bolsonaro mengancam akan menarik keanggotaan negaranya dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setelah diperingatkan tentang risiko pembukaan negara terlalu cepat.
WHO menghimbau demikian karena Brasil saat ini masih mengalami lonjakan kematian dan kasus infeksi Covid-19.
Bahkan angka infeksinya ada di posisi kedua terbanyak di dunia sementara kasus kematiannya telah melampaui Italia di posisi ketiga.
Presiden Bolsonaro mengatakan bahwa dia mengikuti langkah yang dilakukan AS.
"Saya memberi tahu Anda sekarang, Amerika Serikat meninggalkan WHO dan kami sedang mempelajari itu, di masa depan," kata Bolsonaro kepada wartawan di luar istana kepresidenan, Jumat (5/6/2020) dikutip dari Al Jazeera.
"Entah WHO bekerja tanpa bias ideologis atau kita pergi juga," tambahnya.
Baca: Wabah Corona Belum Selesai, WHO Umumkan Munculnya Wabah Virus Mematikan Lain
Baca: WHO Lanjutkan Studi Hidroksiklorokuin untuk Mengobati Covid-19

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump bulan lalu mengatakan akan mengakhiri hubungan dengan WHO.
Trump menuduh organisasi PBB ini bersifat china-sentris dan menutupi fakta sebenarnya dari angka kasus di negara tersebut.
Bolsonaro selama ini dikenal mengikuti ideologi-ideologi Trump.
Bahkan hampir semua tanggapannya pada pandemi seperti sikap meremehkan bahaya virus, melawan protokol jarak sosial, hingga mempromosikan obat anti-malaria seperti yang dilakukan presiden AS.
Presiden Brasil mengancam akan keluar dari keanggotaan WHO setelah mengumumkan kasus kematiannya telah melebihi Italia.
Tepatnya ada di belakang AS dan Inggris.
Worldometers pada Minggu (7/6/2020) mencatat 36.044 kematian di Brasil dan 676.494 kasus infeksi.
Tajuk dalam harian lokal, Folha de S Paulo, menyoroti angka ini karena pengumumannya tepat 100 hari setelah Bolsonaro mengatakan virus corona hanya 'flu kecil'.

Faktanya saat ini setiap menit virus itu merenggut nyawa warga Brasil.
"Ketika Anda membaca ini, seorang Brasil lainnya meninggal karena virus korona," kata surat kabar itu.
Pada Kamis silam, Kementerian Kesehatan Brazil melaporkan bahwa kasus infeksi telah melampaui 600.000 dan 1.437 kematian tercatat dalam 24 jam, lonjakan harian selama tiga hari berturut-turut.
Kemudian pemerintah kembali melaporkan 1.005 kematian baru pada Jumat-nya.
Namun Bolsonaro justru mendebat jajaran pemerintahannya agar segera membuka negara kembali.
Dia berdalih keselamatan ekonomi lebih penting daripada risiko kesehatan masyarakat.
Sementara itu WHO mengatakan bahwa syarat membuka negara adalah berkurangnya transmisi penyebaran virus di sana.
"Epidemi, wabah, di Amerika Latin sangat memprihatinkan," kata juru bocara WHO, Margaret Harris pada konferensi pers.
"(Di antara enam kriteria kunci untuk mengurangi karantina), salah satunya memiliki penurunan transmisi di dalam negara," tambahnya.
Langkan kontroversial Bolsonaro menuai kritik secara lokal maupun dari kalangan internasional.
Bahkan beberapa kalangan politik Brasil menilai presiden menggunakan krisis kesehatan untuk merusak institusi demokrasi.

Baca: Brasil Kedua Tertinggi Kasus Covid-19, Renan da Silva Tiap Hari Telepon Orangtuanya
Baca: Brasil Mulai Membuka Negara Disaat Angka Kematian Covid-19 Hampir Duduki Terbanyak Ke-2 di Dunia
Penyebaran virus corona di Amerika Latin memang mengkhawatirkan, setidaknya ada lebih dari 1,1 juta orang terinfeksi di sana.
Meski saat ini Brasil dan Meksiko yang paling menonjol angka infeksinya, tapi negara Amerika Latin lainnya seperti Peru, Kolombia, Chili, dan Bolivia juga mengalami hal yang sama.
Namun sebenarnya sebagian besar otoritas Amerika Latin menganggap pandemi ini lebih serius daripada Presiden Brasil, Bolsonaro.
Namun beberapa politisi yang mendukung langkah penguncian wilayah sejak Maret dan April mulai mendorong ekonomi agar dibuka kembali.
Ini dilakukan karena kemiskinan dan kelaparan semakin meluas di sana.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)