Senin, 6 Oktober 2025

Bangkok Rusuh

Mengapa Raja Thailand Terus Diam Diri

Seusai kecamuk protes anti-Pemerinta

Editor: Iswidodo

Gambar Raja Bhumibol yang menghadapi dua pemimpin yang bertikai, Jenderal Suchinda Kraprayoon dan pemimpin protes Chamlong Srimuang, di bawah kakinya saat huru-hara tahun 1992 sangat terkenal dan membekas di benak rakyat Thailand.

Saat protes kelompok Kaus Merah menentang Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva menajam dua bulan terakhir ini, rakyat Thailand sebenarnya ingin melihat gambar itu lagi. Namun, Raja Bhumibol bergeming meski korban jiwa berjatuhan.

Thanet Aphornsuvan, ahli sejarah dari Thammasat University, mengungkapkan, secara fundamental, Raja selalu berada di atas politik meskipun beberapa kali turun tangan untuk menyelesaikan krisis politik di negaranya.

Akan tetapi, mencampuri krisis politik terburuk dalam sejarah Thailand modern kali ini justru akan membuat konflik semakin intensif karena salah satu atau kedua pihak akan berlomba-lomba mengklaim dukungan Raja.

”Memang sudah saatnya rakyat Thailand berdiri sendiri, tidak selalu berpaling kepada Raja saat terjadi krisis,” kata Thanet.

Raja Bhumibol, yang kini berusia 82 tahun, pada 26 April lalu muncul di atas kursi roda dan terlihat ringkih—hanya mengatakan bahwa banyak orang yang tidak melakukan tugasnya dengan baik.

Melihat gambaran itu, banyak analis mengatakan bahwa pengaruh monarki mulai memudar. Apalagi kelompok-kelompok yang berselisih di Thailand berusaha menarik Raja lebih jauh ke ranah politik, salah satunya dengan lese majeste, yaitu hukum yang menindak siapa pun yang menghina Raja dan institusi kerajaan dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

Pesan kuat

Pastor Maharsono Probo SJ, misionaris Indonesia di Thailand, Senin (24/5), kepada Kompas mengatakan, sebenarnya perkataan Raja Bhumibol itu justru mengandung pesan kuat. ”Krisis terjadi karena ada pihak-pihak yang tidak bertugas dengan baik. Muncul interpretasi dan saling tunjuk, siapa yang tidak melakukan tugas dengan baik. Lalu, mereka berbenah,” katanya.

Salah satu ”yang merasa tertunjuk” adalah institusi kepolisian. Dalam menghadapi pemrotes, polisi tampak lebih enggan untuk bergerak dibandingkan militer. Padahal, tugas merekalah untuk menjaga tata tertib masyarakat dan penegakan hukum.

Institusi monarki, kata Pastor Maharsono, adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan dan kehidupan masyarakat Thailand. Sebagai monarki konstitusional, Raja Thailand memang tidak memiliki kekuasaan politik formal. Namun, Raja Bhumibol—monarki yang masih berkuasa terlama di dunia— mendapat tempat istimewa di hati rakyatnya.

Menjaga harmoni

Tahun 1970 hingga 1980-an, setiap tahun Raja bepergian hingga puluhan ribu kilometer ke segenap penjuru Thailand untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat, seperti air, makanan, pendidikan, bahkan sampai soal pertengkaran keluarga.

Banyak pihak berusaha menyingkirkan institusi monarki dari Thailand, seperti kelompok komunis lama. Akan tetapi, kebanyakan rakyat Thailand masih memandang institusi tersebut diperlukan guna menjaga harmoni dan menempatkan monarki di hati mereka.

”Thailand tanpa monarki adalah Thailand yang pincang, bahkan bukan Thailand,” kata Maharsono.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved