Virus Corona
Kasus Negatif Palsu Pasien Covid-19, Ketahui Faktor Penyebabnya
Munculnya kasus negative false atau hasil tes negatif palsu pasien Covid-19 diakui Kepala Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya kasus negative false atau hasil tes negatif palsu pasien Covid-19 diakui Kepala Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto.
Beberapa kasus ditemukan adanya pasien Covid-19 yang menunjukkan hasil PCR negative pada awal-awal pemeriksaan.
“Karena itu jika ada pasien dengan gejala mengarah Covid-19 tetapi hasil pemeriksaan PCR ternyata negatif, harus diulang beberapa hari kemudian,” kata Anjari dalam keterangannya, Minggu (25/7/2021).
Tetapi, lanjut Anjari bukan berarti metode PCR-nya error.
Ketua Umum IDI Daeng M Faqih, mengatakan dalam kasus hasil tes negatif palsu pasien Covid-19, ada banyak faktor yang mempengaruhinya.
Baca juga: Epidemiolog Peringatkan Soal Puncak Kasus Infeksi Covid-19 di Indonesia
Baca juga: Update Corona di Indonesia 25 Juli 2021: Kasus Positif Covid-19 Bertambah 38.679, Meninggal 1.266
Satu di antaranya adalah belum terbentuknya zat antibody (masa inkubasi virus) pada saat pemeriksaan dilakukan.

Menurutnya, PCR atau polymerase chain reaction adalah metode deteksi virus Covid-19 yang paling akurat saat ini.
Semua rumah sakit anggota PERSI yang menjadi rujukan Covid-19 menggunakan metode ini untuk menentukan status pasien yang diduga Covid-19.
Anjari menjelaskan untuk menjadi rumah sakit rujukan Covid-19, sebuah rumah sakit harus melalui seleksi yang ketat.
Seleksi ini dilakukan menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi seperti ketersediaan ahli patologi, petugas laboratorium, dan sarana parasarana lainnya sesuai standar yang sudah ditentukan Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19.
“Jadi tidak sembarang rumah sakit bisa jadi rujukan Covid-19,” tambahnya.
Penjelasan Anjari tersebut terkait dengan adanya sebagian masyarakat yang menuding bahwa rumah sakit sering meng-Covid-kan pasien dengan motif keuntungan (uang).
Tudingan tersebut bagi Anjari tidak masuk akal, mengingat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun justru membuat rumah sakit cukup kewalahan.
“Angka lebih dari 1.000 tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 ini bukanlah angka main-main.
Ini artinya banyak rumah sakit yang kehilangan tenaga kesehatannya.
Belum lagi banyaknya nakes yang harus isolasi akibat tertular Covid-19. Isolasi ini tentu akan mempengaruhi layanan kesehatan di rumah sakit.
Nalar sehatnya dimana kalau dalam kondisi seperti itu masih ada yang tega menuding rumah sakit meng-Covidkan pasien,” pungkas Anjari.
PCR atau polymerase chain reaction saat ini menjadi metode diagnosis penyakit Covid-19 yang paling akurat.
Metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus dengan PCR ini memiliki akurasi paling tinggi bisa mencapai 90 persen dibanding model swab antigen atau rapid antigen.
Meski memailiki akurasi yang tinggi, ada sejumlah kasus pasien Covid-19 yang tetap menunjukkan hasil PCR negative padahal semua gejala Covid-19 ditemukan pada pasien tersebut.
PERSI telah melakukan verifikasi berita yang beredar di lapangan.
IDI dan PERSI berulangkali melakukan advokasi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki pandangan keliru tersebut.
“Miss persepsi, ada kesalahan pemahaman, jadi kewajiban kami untuk meluruskan,” jelasnya.
Daeng maupun Anjari sepakat pasien dan keluarga pasien memiliki hak untuk meminta penjelasan kepada dokter dan rumah sakit jika memang menemukan indikasi ketidakberesan dalam layanan maupun penegakan diagnosis penyakit.
"Sebaliknya, dokter dan rumah sakit juga memiliki hak untuk dihargai dan dihormati dalam hal penegakan diagnosis maupun pengambilan tindakan medis, sesuai dengan SOP yang berlaku," kata Daeng.