Virus Corona
Moeldoko Beberkan Alasan Pemerintah Jalin Kerja Sama dengan Negara Lain Kembangkan Vaksin Covid-19
Moeldoko mengatakan pemerintah telah menjalin kerjasama riset dengan negara lain salah satunya Inggris dalam mencari dan mengembangkan vaksin Covid-19
Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Kepala Staf Kepresiden Moeldoko mengatakan pemerintah telah menjalin kerjasama riset dengan negara lain salah satunya Inggris dalam mencari dan mengembangkan vaksin Covid-19.
Tujuannya, agar ketika vaksin ditemukan, Indonesia tidak tertinggal.
"Agar apa, agar nanti kita tidak ketinggalan. Kalau sekarang kita mulai berkolaborasi dengan berbagai lembaga riset dunia, maka nanti begitu ada vaksin muncul maka kita ada di situ," kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Baca: Kota Kecil di Washington Cetak Uang Kayu Demi Tanggulangi Krisis Ekonomi karena Covid-19
Menurut Moeldoko, Indonesia harus berkontribusi dalam pengembangan vaksin agar tidak bergantung dengan negara lain.
Alasannya setiap negara akan memprioritaskan warganya terlebih dahulu dalam pemberian vaksin.
"Karena negara-negara itu akan prioritaskan kebutuhan dalam negeri dan komunitas regionalnya," katanya.
Sebelumnya Presiden Jokowi memprediksi produksi vaksin Covid-19 mulai dilakukan pada awal tahun 2021.
"Perkiraan kita akan masuk produksi kira-kira antara Januari-April tahun depan," kata Presiden.
Baca: Selain Tes Covid-19, Zohri Cs Juga Bakal Dites Mental Sebelum Jalani TC di Jakarta
Indonesia menurutnya, menjalin kerjasama dengan sejumlah negara dalam mengembangkan vaksin yang sudah masuk pada tahap uji klinis.
Misalnya perusahaan BUMN PT Bio Farma menjalin kerjasama dengan Sinovac Biotech Ltd asal China dalam mengembangkan vaksin yang sudah masuk pada fase uji klinis tahap III.
Sementara itu, PT Kalbe Farma bekerja sama dengan perusahaan asal Korea Selatan, Genexine.
Pengembangan vaksin tersebut masih perlu uji terkahir yang membutuhkan waktu sekitar enam bulan.
Adapun kebutuhan vaksin dalam negeri sebanyak 347 juta.
Jumlah tersebut mempertimbangkan adanya kasus pasien yang harus diberikan vaksin lebih dari sekali.