Minggu, 5 Oktober 2025

Virus Corona

Pelibatan TNI-Polri untuk New Normal, LBH Jakarta: Pemerintah Pilih Pendekatan Keamanan

Arif Maulana, mempermasalahkan kebijakan pemerintah terkait skema "new normal" mengerahkan TNI-POLRI untuk mengamankan masyarakat.

WARTA KOTA/WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
NEW NORMAL - Pasukan Marinir berjaga di Stasiun Palmerah, Jakarta, Pusat, Rabu,(27/5/2020). 30 personil pasukan Marinir Cilandak ini bagian dari 340.000 personel TNI-Polri yang akan dikerahkan untuk persiapan tatanan kehidupan baru atau new normal selama pandemi Covid-19. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, mempermasalahkan kebijakan pemerintah terkait skema "new normal" mengerahkan TNI-POLRI untuk mengamankan masyarakat.

Menurut dia, kebijakan presiden yang memutuskan menerapkan skema “new normal” dalam merespon masalah pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) berpotensi berujung langkah represif militeristik mengingat pendekatan yang digunakan keamanan bukan penanganan masalah kesehatan.

Baca: KPAI: Jika Belum Penuhi Standar Protokol Kesehatan, Sebaiknya Rencana Pesantren Buka Kembali Ditunda

"Hal ini dapat dilihat dari upaya pengerahan ratusan ribu personal TNI dan Polri untuk ‘mengamankan’ dan ‘mendisiplinkan’ penerapan New Normal di tengah-tengah situasi wabah pandemi COVID-19 yang rencananya akan dilakukan operasi masif di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota," kata dia, Jumat (29/5/2020).

Baca: M Qodari Komentar soal Pengecekkan Mal Jelang New Normal, Ibaratkan Jokowi Masuk Lapangan Ranjau

Dia memandang skema kebijakan "new normal" ini bermasalah, karena tidak didasarkan evaluasi kebijakan penanganan wabah pandemi COVID-19 yang jelas. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan dalam kurva epidemologi, jumlah korban tertular virus Covid-19 di seluruh Indonesia justru terus mengalami peningkatan bukan penurunan.

"Hal ini menunjukkan pemerintah belum mampu mengendalikan penyebaran Covid 19. Oleh karenanya, kebijakan ‘New Normal’ jelas berpotensi meningkatkan peluang penularan wabah pandemi COVID-19 yang lebih luas dan rentan menjadi kebijakan yang justru “mengorbankan keselamatan” masyarakat," kata dia.

Selain itu, dasar argumentasi penetapan dan konsep kebijakan "New Normal" ini sendiri belum jelas dan justru mengarah pada kebijakan ‘Herd Immunity’, dimana warga secara massal dibiarkan beraktifitas sebagaimana biasanya dan jika tertular virus akan menimbulkan kemungkinan efek kekebalan tubuh terhadap virus.

Sekalipun pemerintah mengklaim bahwa kebijakan "new normal" ini dilakukan dengan tetap memperhatikan protokol keamanan dan kesehatan diri, namun hal tersebut mesti disangsikan karena faktanya data penularan wabah virus pandemi COVID-19 terus meningkat meski telah diterapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang jauh lebih ketat membatasi aktifitas warga sendiri.

Baca: Dihadapkan 2 Opsi, Anies Pilih Tambah Anggaran Bansos Ketimbang Bayar TKD PNS

Dia menilai pelibatan kepolisian mengawal, mengamankan, dan mendisiplikan kebijakan "new normal" tak kalah bermasalah, karena domain pokok kepolisian penegakan hukum pidana, bukan mengawal kebijakan baru terkait pembatasan aktivitas masyarakat dalam PSBB sebagai kebijakan kekarantinaan kesehatan.

Dia menjelaskan pelibatan aparat kepolisian dalam ‘pengamanan dan pendisiplinan’ new normal mengarah pada potensi represitas aparat terhadap ruang kehidupan publik masyarakat sipil yang dalam kondisi saat ini sebenarnya mesti ‘dihindari’ oleh pemerintah.

"Agenda pemerintah melibatkan TNI untuk melakukan pengawalan, pengamanan, dan pendisiplinan kebijakan New Normal menjadi semakin salah kaprah. TNI sendiri sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia merupakan alat pertahanan negara yang ditujukan menghadapi pertempuran di medan perang, bukan mendisiplinkan warga," kata dia.

Selain itu, pelibatan TNI dalam situasi wabah pandemi COVID-19 maupun skema kebijakan New Normal juga tidak memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, karena kedua-duanya merupakan bukan situasi yang dapat dijadikan pembenaran pelibatan TNI dengan dalih pelibatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf b dan Pasal 20 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah membatasi secara jelas domain dan asas pelibatan TNI dalam OMSP yang mana tidak mencakup dalam hal penanggulangan wabah penyakit maupun intervensi ‘pendisiplinan kehidupan publik’ warga sipil Indonesia.

"Dalam Pasal 17 UU TNI, Presiden memang dimungkinkan untuk mengerahkan kekuatan TNI tetapi jelas harus memenuhi syarat dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata bukan menghadapi pandemi covid 19 yang merupakan masalah wabah penyakit dan itupun harus atas persetujuan DPR," ujarnya.

Jika merujuk Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Penganggulanngan Bencana disebutkan dalam keadaan darurat bencana Kepala BNPB/BPBD dapat melakukan pengerahan sumberdaya untuk tanggap darurat termasuk pelibatan institusi TNI dan Polri namun terbatas untuk kebutuhan menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital yang rusak akibat bencana.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved