Virus Corona
Pertama Sejak Februari, Tidak Ada Kasus Covid-19 Lokal di Korea Selatan
KCDC melaporkan empat infeksi baru pada hari ini dan seluruhnya merupakan kasus impor.
TRIBUNNEWS.COM - Hari ini Kamis (30/4/2020), Korea Selatan melaporkan tidak ada kasus Covid-19 baru domestik.
Hal itu menjadi fenomena yang pertama kalinya sejak puncaknya terjadi pada 29 Februari lalu.
Demikian menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC).
KCDC melaporkan empat infeksi baru pada hari ini dan seluruhnya merupakan kasus impor.
Sehingga menjadikan kasus di Korea Selatan menjadi 10.765.
Kemudian korban tewas sebanyak 247, bertambah satu pada hari ini.
Dikutip dari CNA, kondisi tersebut terjadi sehari setelah parlemen Korea Selatan menyetujui anggaran tambahan kedua pemerintah tahun ini untuk mendanai pembayaran tunai yang dijanjikan kepada semua keluarga di tengah pandemi.
Baca: Reaksi Pemerintah saat Pelayanan Medis di Indonesia Disebut Paling Rendah se-Asia Tenggara
Baca: AS dan China Berebut Wilayah Kepulauan Paracel di Tengah Pandemi Covid-19, Kapal AS Telah Tiba
Pada hari Minggu, gereja-gereja besar Korea Selatan dibuka kembali setelah pemerintah melonggarkan pembatasan pada pertemuan keagamaan yang bertujuan memperlambat penyebaran Covi-19.
Sebuah gereja rahasia, Gereja Shincheonji Yesus, berada di episentrum wabah corona Korea Selatan.
Yakni dengan sekitar setengah dari total infeksi negara itu dari 10.728 terkait dengan para anggotanya.
Wabah corona awalnya mendorong penghitungan kasus yang dikonfirmasi jauh lebih tinggi daripada negara mana pun di luar China, sebelum pemerintah menggunakan pengujian luas dan langkah-langkah jarak sosial untuk menurunkan angka.
Korea Selatan juga telah memperpanjang kebijakan jarak sosialnya hingga 5 Mei tetapi menawarkan bantuan untuk fasilitas keagamaan dan olahraga yang sebelumnya tunduk pada pembatasan ketat.
222 Orang Kembali Positif Covid-19
Ketika kasus infeksi virus corona di Amerika Serikat dan Italia terus meningkat setiap hari, infeksi baru Korea Selatan kabarnya telah menipis.
Namun, Korea Selatan sekarang bergulat dengan masalah baru.
Sekira 222 orang kembali dinyatakan positif corona padahal sempat dinyatakan sembuh, dan para ahli tidak yakin mengapa bisa terjadi.
Terkait hal ini Dr Roh Kyung Ho, yang bekerja di Departemen Laboratorium Kedokteran di Rumah Sakit Asuransi Kesehatan Nasional Ilsan memberikan komentarnya.
"Kita dapat melihat ini sebagai masalah infeksi ulang atau masalah pengaktifan kembali," kata Dr Roh Kyung Ho dikutip Tribunnews dari Al Jazeera.
Baca: Korea Selatan Kirim Bantuan RT-PCR Test Kit Senilai USD 500.000 Untuk Indonesia
Baca: Viral, Ini 3 Alasan Drakor The World of Marriage Couple Sangat Populer Tak Hanya di Korea Selatan

Lebih lanjut, Dr Roh menerangkan, perbedaan antara dua kata itu, yaitu infeksi ulang atau reaktivasi, bisa menjadi kunci perjuangan global melawan Covid-19.
Sederhananya, tambah Dr Roh, reaktivasi akan berarti, seseorang dengan Covid-19 belum mampu melawan virus setelah terlihat menjadi lebih baik.
Menjadi terinfeksi ulang berarti seseorang telah pulih sepenuhnya, tetapi kemudian tertular virus lagi.
"Kemungkinan besar virus itu diaktifkan kembali atau menginfeksi ulang karena fungsi kekebalan tubuh seseorang tidak mencukupi," jelas Dr Roh.
"Dalam kasus reinfections, ada kemungkinan seseorang pulih dari virus dan kemudian melakukan kontak dengan pembawa virus asimptomatik lainnya di masyarakat," tambahnya.
Peneliti Tak Yakin
Sebagai catatan, hanya delapan kasus baru dari virus yang dikonfirmasi di Korea Selatan antara 22-23 April 2020.
Hanya di bawah dua bulan setelah apa yang kemudian muncul sebagai puncak wabah pada 29 Februari 2020, ketika Korea Selatan melaporkan infeksi paling banyak di dunia di luar China.
Tetapi dengan sekitar 78 persen dari mereka yang pernah dites positif sekarang dibebaskan dari karantina.
Para peneliti tetap tidak yakin tentang seberapa besar kemungkinan mereka yang pernah terkena Covid-19 untuk tertular lagi.
Para ahli di Korea Selatan tampaknya tidak berpikir kesalahan terletak pada test kit mereka.
Sebagai catatan, test kit mereka sekarang diekspor secara massal.
Setidaknya 120 negara telah meminta tes Covid-19 Korea dan telah diimpor atau merupakan bantuan kemanusiaan.
Sementara Korea Selatan mengekspor test kit senilai 48,6 juta dolar AS pada Maret 2020.
"Beberapa peneliti berpikir, ini sebenarnya adalah kasus infeksi ulang atau masalah ketepatan dalam test kit," terang Hwang Seung Sik, Ahli Epidemiologi Spatio-temporal di Seoul National University.
"Banyak yang melihat ini lebih sebagai reaktivasi virus," kata Hwang Seung-sik.
"Sebenarnya, Korea Selatan juga menerapkan standar yang lebih ketat untuk apa yang merupakan pemulihan lengkap, dibandingkan dengan negara lain," paparnya.
"Mengingat keakuratan yang tinggi dari test kit dan volume pengujian yang dilakukan, ini banyak kasus infeksi ulang atau reaktivasi bukan jumlah yang tinggi," tambahnya.
Sikap Korea Selatan: Proaktif dan Agresif
Korea Selatan telah bersikap proaktif dan agresif dalam perjuangannya melawan Covid-19.
Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, Korea Selatan mulai dari diam-diam mengembangkan dan menimbun alat tes pada awal Januari.
Termasuk memasuki data ponsel cerdas dan kartu kredit untuk melacak pergerakan mereka yang dikonfirmasi memiliki virus.
Al Jazeera melaporkan, pengguna smartphone di negara tersebut menerima peringatan otomatis yang merinci situs infeksi terdekat.
Sementara mereka yang menyelesaikan masa karantina diharuskan melaporkan gejala mereka setiap hari melalui aplikasi yang dikelola pemerintah.
Tanggapan Pemerintah Terkait Covid-19
Pada saat yang sama, Al Jazeera mewartakan, Korea Selatan menguji hingga 20.000 orang per hari untuk virus.
Pengujian tersebut sering dilakuakn secara gratis, kadang-kadang dalam bentuk drive-thru atau bilik telepon self-sanitizing.
Pemerintah juga menjatah masker wajah pelindung di antara warga dan memberikan paket perawatan dengan makanan, air, produk-produk higienis, dan masker kepada mereka yang dikarantina sendiri.
Pengujian telah membantu menurunkan tingkat infeksi, dengan kurang dari 20 kasus baru per hari dalam seminggu terakhir.
Meski begitu, para ahli medis mendesak masyarakat untuk tetap berhati-hati, dan pemerintah telah memperpanjang pedoman jarak fisik selama dua minggu hingga 5 Mei 2020.
"Karena kasus tanpa gejala, kami masih belum menemukan sejauh mana infeksi masyarakat di sini," kata Roh.
"Jadi, sangat penting untuk menjaga jarak sosial dan memakai masker di tempat umum," tambahnya.
"Juga penting untuk terus bekerja pada pengembangan perawatan yang layak dan aman untuk masa depan," terangnya.
Menurut Roh, para peneliti di seluruh dunia masih belum sepenuhnya memahami bagaimana virus bekerja.
Ia mengatakan, tidak yakin apakah orang dapat benar-benar mencapai kekebalan penuh setelah pulih dari Covid-19.
Baca: Pejabat Korea Selatan Pastikan Kim Jong Un Masih Hidup dan Sehat
Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 24 April 2020 memperingatkan, negara-negara harus berhati-hati dalam mengeluarkan 'paspor imunitas' kepada mereka yang pulih dari Covid-19.
WHO mengatakan tidak ada bukti, orang tidak bisa mendapatkan penyakit itu lagi.
Di Korea Selatan, mereka yang didiagnosis untuk kedua kalinya sedang dirawat di rumah sakit atau dirawat di ruang isolasi.
"Jika permintaan untuk perawatan medis tiba-tiba meningkat karena kelompok infeksi yang besar, maka sumber daya medis dan tes diagnostik harus diprioritaskan untuk pasien dalam kondisi yang paling parah," kata Roh.
"Dalam hal itu, akan ada sedikit bandwidth untuk mempelajari pasien yang terinfeksi ulang atau mengaktifkan virus," jelasnya.
"Sejauh ini, kami belum melihat perubahan signifikan pada coronavirus itu sendiri, sehingga kemungkinan benar-benar terinfeksi ulang rendah," kata Hwang.
"Jika varian virus muncul pada musim gugur atau musim dingin ini, maka ada kemungkinan reinfeksi," paparnya.
"Namun, biasanya ketika jumlah strain virus meningkat, daya menular virus meningkat, tetapi tingkat kematian cenderung menurun," jelasnya.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Andari Wulan Nugrahani)