Selasa, 30 September 2025

Jokowi Sebut Hilirisasi Raup Rp 510 T, Faisal Basri: Tidak Jelas Hitungannya, Cuma Untungkan China

kebijakan hilirisasi industri mendongkrak nilai ekspor sumber daya alam, salah satunya nikel yang menjadi Rp 510 triliun. Dibantah faisal basri

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Kontan
Ilustrasi - Bijih Nikel. Faisal Basri mengatakan, hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah secara jelas mendukung industrialisasi di China. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdebatan antara Presiden Joko Widodo dan Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri kian memanas.

Hal ini dimulai dari pandangan Faisal yang menyebut bahwa program hilirisasi nikel yang kini masif digarap Pemerintah, dianggap menguntungkan China dan negara lain.

Namun setelah itu, Presiden Jokowi merespons tudingan Faisal, dan menegaskan hal tersebut salah kaprah.

Baca juga: Sektor Swasta Dukung Pemerintah Percepat Transisi Energi dan Hilirisasi Mineral

Menurut Jokowi, kebijakan hilirisasi industri telah mendongkrak nilai ekspor sumber daya alam, salah satunya nikel yang melonjak menjadi Rp 510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel.

Lewat nilai ekspor yang besar itu, pemerintah akan mendapat pemasukan yang besar dari sisi pajak, royalti, bea ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Jika tidak ada program hilirisasi, komoditas nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah, kira-kira hanya Rp 17 triliun per tahun.

Presiden pun mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi.

Dibantah

Faisal melalui blog pribadinya faisalbasri.com pun menjawab hitung-hitungan Jokowi dan memaparkan hitungan versi dirinya. Ia menyebut angka-angka yang disampaikan Jokowi soal nilai ekspor kurang jelas dan tidak jelas hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ucap Faisal dalam Blog pribadinya dikutip, Sabtu (12/8/2023).

Faisal memaparkan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dollar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11.865 per dollar AS.

Baca juga: Kasus Korupsi Tambang Nikel, PT KKP Sebut Kejaksaan Sita 11 Rekening Koran

Kemudian berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dollar AS. Sehingga, dengan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dollar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun.

Dengan penghitungan tersebut, ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) itu sepaham dengan Jokowi bahwa benar adanya lonjakan ekspor yang sangat fantastis dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.

Namun, yang menjadi sorotan Faisal adalah apakah uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Hal ini mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.

"Maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," kata dia.

Menurut dia, kondisi itu berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sedangkan untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ungkapnya.

Ia bilang, jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, berbeda denganperusahaan smelter nikel yang justru bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

Dengan demikian, kata Faisal, penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel, hasilnya nihil. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional.

Ekonom Indef Faisal Basri dalam diskusi di Kedai Kopi, Jakarta, Rabu (14/8/2019). (Ria Anatasia)
Ekonom Indef Faisal Basri dalam diskusi di Kedai Kopi, Jakarta, Rabu (14/8/2019). (Ria Anatasia) (Ria Anatasia/tribunnews.com)

"Kementerian Keuangan-lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)," paparnya.

Faisal pun menyoroti para perusahaan smelter China yang tidak membayar royalti. Justru yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel, yang hampir semua adalah pengusaha nasional.

Berbeda dari sebelumnya ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Baca juga: Eks Dirjen Minerba ESDM yang Juga Mantan Pj Gubernur Babel Ditahan Terkait Korupsi Nikel Antam

Faisal menekankan, pada dasarnya dia mendukung industrialisasi, tetapi ia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Menurut dia, kebijakan hilirisasi saat ini ugal-ugalan sehingga sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.

"Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," kata dia.

Ia bilang, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa, tetapi justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun. Pada tahun 2014 peranan industri manufaktur sebesar 21,1 persen, lalu turun menjadi hanya 18,3 persen di tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Keberadaan smelter nikel juga dinilai tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja sebagian besar tidak bisa langsung dipakai oleh industri dalam negeri, seperti untuk otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau.

Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, sementara yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Sedangkan hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, dan ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia.

Faisal mengatakan, sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.

Menurut dia, nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional dari kebijakan hilirisasi tersebut tak lebih dari sekitar 10 persen. Lantaran hampir semua smelter nikel milik pengusaha China, di mana mereka mendapatkan fasilitas tax holiday, sehingga tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

Apalagi, hampir 100 persen modal para pengusaha itu berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.

Dari sisi tenaga kerja, banyak orang China yang bekerja di industri smelter Indonesia justru bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.

Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya, muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dollar AS per pekerja per bulan.

Ia memaparkan, salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta, sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Padahal dengan mereka memegang status visa kunjungan, maka boleh jadi para pekerja China itu tidak membayar pajak penghasilan.

Baca juga: Kontraktor China Garap Proyek Smelter Nikel Matte di Kalimantan Timur

"Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," tegasnya.

Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah, sebab pemerintah menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.

Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel hanya 19,35 dollar AS per dry metric ton (dmt), jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yakni sebesar 38,35 dollar AS per dmt, yang pada saat itu sudah relatif sangat rendah.

Adapun perusahaan tambang bijih nikel yang terdaftar mencapai 330, terdiri dari 328 perusahaan memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan 2 lainnya memiliki kontrak karya (KK). Menurut Faisal, perusahaan tersebut tidak punya pilihan lain kecuali menjual bijih nikel kepada perusahaan smelter.

Di sisi lain, perusahaan smelter mewajibkan perdagangan bijih nikel melalui trader, dan perusahaan smelter pula yang menunjuk perusahaan surveyor.

Dia bilang, hampir semua pembeli bijih nikel pun hanya mau menggunakan Anindiya WK dan Carsurin untuk pelaksanaan jasa verifikasi di titik bongkar (discharging).

"Betapa istimewa posisi perusahaan smelter China tercermin dari fakta tersebut," kata Faisal Basri.

Untungkan China

Ekonom senior Faisal Basri mengkritik kebijakan hilirisasi di sektor mineral yang saat ini gencar dilakukan pemerintah.

Faisal mengatakan, hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah secara jelas mendukung industrialisasi di China.

Hal itu ia sampaikan dalam acara KTT INDEF 2023: Menolak Kutukan Deindustrialisasi: Menuju Pengarusutamaan Industri Hijau, Selasa (8/8/2023).

"Tidak ada yang namanya strategi industrialisasi, yang ada hanya kebijakan hilirisasi. Beda. Kalau industrialisasi memperkuat struktur perekonomian, struktur industri, meningkatkan nilai tambah dalam negeri," kata Faisal.

"Kalau hilirisasi sekadar dari bijih nikel jadi NPI atau feronikel. Sungguh hilirisasi itu kita tak dapat banyak. Maksimal 10 persen. 90 persennya lari ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Luar biasa. T*lol," lanjutnya.

Kemudian, Faisal menyebut bahwa pemerintah menggunakan istilah hilirisasi karena tidak mampu memenuhi syarat industrialisasi yang sehat.

Ia kemudian berkelakar bagaimana dirinya meminta penjelasan ke tokoh terkenal, mendiang Adam Smith, mengenai Indonesia yang punya segala macam instansi soal investasi, tapi realisasinya selalu rendah.

"Saya makin lama makin bingung makanya saya terbang ke Edinburgh. Ziarah ke makam Adam Smith. Tolong dong jelaskan fenomena di Indonesia. Indonesia ada Menko Investasi, ada Menteri Investasi, ada Satgas Percepatan Investasi, ada segala macam insentif yang diberikan dari tax holiday sampai segala macam. Kenyataannya pertumbuhan investasi turun terus. Itu saya bingung," ujar Faisal.

"Adam Smith saja bingung liat Indonesia. Antara apa yang terjadi, antara apa yang kata data (berbeda dengan, red) apa yang kata pejabat," lanjutnya

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan