Sudah Ada Tol dan Jalur KA, Sekjen MTI Klaim Proyek Kereta Cepat Krusial untuk Sektor Transportasi
MTI mengklaim, KCJB bisa menjadi alternatif kepadatan rute di jalan tol dan untuk menangkap kebutuhan masyarakat untuk puluhan tahun ke depan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hari Darmawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Setyaka Dillon mengatakan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sangat penting dan krusial bagi sektor transportasi publik di Indonesia nantinya di masa depan.
"Saya kira penting sekali proyek ini diselesaikan karena sudah berjalan," ujar Harya saat dikonfirmasi, Selasa (19/10/2021).
Dia mengklaim, KCJB bisa menjadi alternatif kepadatan rute di jalan tol dan juga secara tidak langsung menangkap kebutuhan masyarakat untuk puluhan tahun yang akan datang.
Harya mengakui, di rute Jakarta Bandung sudah ada jalan tol dan jalur kereta api. Namun menurutnya, pertumbuhan penumpang setiap tahunnya dapat menjadi solusi dari kehadiran Kereta Cepat Jakarta Bandung.
"Dampak proyek ini pasti sangat panjang, dan nantinya dengan adanya kereta cepat, nanti konektivitas regional terbangun," kata dia.
Baca juga: Faisal Basri Sindir Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Ini Proyek Properti atau Proyek Kereta?
Harya juga menilai, dampak ekonomi kereta cepat tidak akan bisa dirasakan dalam 5 tahun pertama masa operasional tapi harus menunggu 10 hingga 30 tahun lagi.
"Akan terasa manfaatnya. Ini tidak jauh berbeda dengan jalan tol, bandara, pelabuhan. Saat baru diresmikan, pelabuhan mungkin baru dirasakan manfaatnya 15 tahun ke depan," Harya.
Baca juga: Ekonom Faisal Basri Minta Pemerintah Hentikan Proyek Kereta Cepat, Food Estate, dan Ibu Kota Baru
Soal biaya yang membengkak tinggi dari semula 6,07 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 114,4 triliun dan harus ditomboki dari APBN, dia mengatakan kondisi pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir memang menempatkan pemerintah dan konsorsium kereta cepat pada posisi sulit.
Baca juga: Pemerintah Akan Gelontor Rp 4,3 Triliun Untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung
"Sebagus-bagusnya perencanaan, Covid-19 itu ada di luar rencana yang paling baik sekalipun. Pertanyaannya sekarang, proyek ini mau dimangkrakan atau dilanjutkan," ucap Harya.
Harya menegaskan situasi ini tidak hanya dialami Indonesia. Menurutnya, banyak pembangunan infrastruktur di negara lain yang juga terganggu karena pandemi Covid-19.
“Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain juga mengalami dilema yang sama dan tidak ada satupun yang memilih untuk memangkrakan proyek. Kasus Covid sudah rendah, tapi jangan lupa ada dampaknya,” katanya.
Akademisi dari Universitas Parahyangan Andreas Wibowo menjelaskan, proyek transportasi publik memang dibutuhkan untuk memperlancar arus pergerakan manusia atau barang.
"Dibutuhkan perencanaan yang matang karena transportasi publik dalam banyak kasus tidak lagi bersifat standalone dan terintegrasi dalam suatu jaringan transportasi," kata Andreas.
Menurunnya, ketersediaan transportasi publik seperti kereta cepat akan membawa dampak eksternalitas misalnya dari sisi pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Dikritik Faisal Basri
Sebelumnya, ekonom Faisal Basri mengkritik keras proyek kereta cepat ini sebagai proyek yang hanya menghambur-hamburkan uang.
"Dibangun proyek yang tidak karu-karuan. Kereta cepat Jakarta - Bandung yang tadinya business to business, sebentar lagi mau disuntik pakai APBN," kata Faisal secara virtual, Rabu (13/10/2021).
Menurut Faisal, sejak awal proyek kereta cepat sudah ditolak saat rapat koordinasi pada tingkat pemerintah, berdasarkan kajian konsultan independen yakni Boston Consulting Group.

"Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk dua minggu senilai 150 ribu dolar AS, menolak dua proposal (proyek kereta cepat Jakarta - Bandung)," paparnya.
"Tapi Rini Soemarno (Menteri BUMN saat itu) yang berjuang (agar proyek kereta cepat berjalan). Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot," sambung Faisal.
Adanya kesalahan langkah tersebut, kata Faisal, masyarakat kini menjadi korbannya karena harus ikut membiayai proyek kereta cepat Jakarta - Bandung melalui APBN.
"Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat, yang barangkali ongkosnya Rp 400 ribu sekali jalan, dan diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal," ujar Faisal.
Faisal juga menyebut proyek Bandara Kertajati di Majelengka, hingga LRT di Palembang, hanya sebagai penghaburan uang negara karena tidak ada manfaatnya.
"Bandara Kertajati lebih baik barang kali jadi gudang ternak saja. Kemudian, Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun dekat Belawan, lalu LRT di Palembang," paparnya.