Asabri dan Jiwasraya Bisa Turunkan Kepercayaan terhadap Industri Asuransi, di mana Fungsi OJK?
Para praktisi keuangan mengkhawatirkan kasus Asabri dan Jiwasraya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi
Penulis:
Reynas Abdila
Editor:
Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM - Sederet kasus industri asuransi mulai dari gagal bayar PT Jiwasraya (Persero), indikasi penyelewengan di Asabri, dan masalah keuangan yang membelit AJB Bumiputera menuai sorotan bagaimana fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Para praktisi keuangan ikut mengkritisi hal ini yang dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu berpandangan aturan dan pengawasan yang diterbitkan OJK sudah lebih dari cukup.
“Secara umum pengawasan OJK sejatinya sudah baik. Walau ada kekurangan tetapi itu masih bisa diperbaiki,” kata Togar di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Menurutnya permasalahan yang terjadi pada beberapa perusahaan asuransi sebaiknya tak mengeneralisir dalam memandang kinerja pengawasan OJK.
Sebab, OJK mengawasi ribuan perusahaan jasa keuangan yang secara umum dalam kondisi baik.
“Ada ribuan perusahaan yang diawasi oleh OJK dan semuanya oke-oke saja,” imbuh Togar.
Togar menambahkan untuk Terkait pengawasan industri keuangan non bank (IKNB), pengawasan sebaiknya dilakukan secara terintegrasi antara komisaris, pemilik, auditor eksternal, dan OJK.
“Harus ada komunikasi yang baik di antara mereka. Tidak bisa hanya bergantung pada OJK,” tambahnya dia.
Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah menilai secara keseluruhan pengawasan industri jasa keuangan yang dilakukan OJK masuk dalam ketegori baik.
Baca: Banyak Kasus di Sektor Asuransi, Ekonom Minta OJK Bersikap Lebih Tegas
Hal ini terlihat pada indikator-indikator stabilitas sistem keuangan.
“Setiap tiga bulan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari BI, OJK, dan LPS selalu menyampaikan laporan stabilitas sistem keuangan. Sejauh ini sudah baik,” ujarPieter.
Namun demikian, Pieter masih memandang perlu ada perbaikan oleh OJK, antara lain, bagaimana menindaklanjuti pengawasan dengan tindakan tegas termasuk terhadap badan usaha milik pemerintah.
Secara terpisah, pengajar di STIE Perbanas Surabaya Abdul Mongid mengakui pengawasan industri jasa keuangan khususnya standar pengawasan bank dan bank perkreditanrakyat (BPR) yang diterapkan OJK sudah bagus.
Abdul juga menyoroti jumlah BPR yang amat banyak di Indonesia, sehingga tak jarang OJK mencabut izin BPR yang tak memenuhi ketentuan permodalan.
“Dengan jumlah BPR yang cukup banyak, OJK perlu melakukan penertiban sekaligus pemberian insentif. Penertiban dilakukan di Pulau Jawa, di mana BPR sangat banyak dan padat,” tuntas Abdul.