Garuda Klaim Tidak Untung Banyak, Meski Tingkat Keterisian Penumpang saat Lebaran Tinggi
Ikhsan mengatakan maskapai tidak mendapat keuntungan besar meski jumlah penumpang banyak.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahalnya harga tiket pesawat masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Terakhir, pemerintah memutuskan akan menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat di kisaran 12-16 persen demi memberikan harga tiket yang lebih terjangkau.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan menjelaskan kenapa harga tiket pesawat naik, terutama di momen-momen libur nasional seperti lebaran.
Alasan mendasar terkait hukum permintaan dan penawaran, yakni ketika permintaan meningkat harga akan menyesuaikan.
"Jadi sebenarnya begini, kita kan memang melihat itu tergantung demand," ujar Ikhsan saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (15/5/2019)
Selain itu, Ikhsan mengatakan maskapai tidak mendapat keuntungan besar meski jumlah penumpang banyak.
Hal ini dikarenakan, tingkat keterisian penumpang atau load factor tinggi hanya pada penerbangan satu arah.
"Bagi Garuda sebenarnya peningkatan penumpang itu bukan membuat kita mendapatkan margin gede. Karena apa? Karena rute-rute keluar Jakarta itu akan penuh," jelas Ikhsan.
"Tapi rute-rute yang kembali ke Jakarta pada hari yang sama, kan kita harus melihat pesawat itu harus dua lap kan. Kalau satu lap-nya misalnya bagus tapi lap pulangnya kosong otomatis kan secara total load factor tidak bagus kan karena kosong. Poinnya di situ," imbuhnya.
Terkait harga tiket yang mahal, Ikhsan menjelaskan maskapai terpaksa memberhentikan diskon ke masyarakat demi memperbaiki kinerja perusahaan.
Menurut dia, selama tiga tahun terakhir pemerintah tidak menyesuaikan tarif batas atas dan tarif batas bawah tiket pesawat.
Padahal, biaya yang dikeluarkan maskapai terus naik akibat kenaikan harga avtur dan nilai tukar dolar AS.
"Dengan situasi itu, sebenarnya struktur cost Garuda itu memang harus bermain di sekitar TBA. Itupun yield (keuntungan) yang kita dapat sekitar 2 persen. Karena memang Ailines marginnya tipis," jelas dia.
Tutup Rute
Keputusan pemerintah untuk menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat di kisaran 12-16 persen memberi dampak bagi maskapai penerbangan di tanah air.
Garuda Indonesia mengaku perlu melakukan beberapa penyesuaian terhadap struktur biaya perusahaan guna menurunkan harga tiket pesawatnya.
Salah satunya adalah mengurangi frekuensi bahkan menutup rute-rute penerbangan yang dinilai kurang menguntungkan.
"Kita pasti melihat rute-rute yang memang tidak baik, ya sudah kita langsung tutup. Bahwa selama ini kan untuk rute-rute yang kurang bagus, itu kan kita ada semacam subsidi silang," ungkap VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan saat dihubungi, Selasa (14/5/2019) malam.
"Tapi dengan penekanan TBA ini, otomatis kita harus lebih ketat lagi. Yang tidak menguntungkan yasudah kita tutup saja untuk menghindari kerugian semakin dalam," tambahnya.
Ikhsan menjelaskan, dengan penurunan TBA, pihaknya harus memangkas struktur biaya perusahaan.
Namun dia memastikan, perusahaan tidak akan mengubah biaya terkait keselamatan penumpang maupun kesejahteraan karyawan.
"Poinnya kan kita sedang bertahan hidup. Jadi bagaimana kita tetap bisa menyesuaikan dengan penyesuaian pemerintah terkait penurunan TBA tadi," tutur Ikhsan.
"Ya mungkin nanti secara jangka pendek dan panjang kita meningkatkan ancillary revenue (pendapatan non tiket). Atau meningkatkan bisnis lain. Kan kita ada rencana pengembangan kargo. Tapi poinnya dengan penurunan TBA ini akan semakin menekan kita," pungkasnya.
Garuda Tertekan
Pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat di kisaran 12-16 persen.
Keputusan ini akan tertuang dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Menteri Perhubungan dan ditargetkan terbit Rabu (15/5/2019) hari ini.
Menanggapi kebijakan tersebut, maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengaku berada di kondisi semakin tertekan.
"Jadi memang dengan rencana penurunan yang TBA hingga 16 persen, itu tentu saja semakin menekan Garuda," ujar VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan saat dihubungi, Selasa (14/5/2019) malam.
Ikhsan menjelaskan, selama lebih tiga tahun terakhir, pemerintah tidak pernah menyesuaikan tarif batas atas maupun tarif batas bawah tiket pesawat.
Padahal, biaya yang perlu dikeluarkan maskapai terus membengkak, akibat kenaikan harga avtur hingga pelemahan nilai tukar rupiah.

"Dengan situasi itu, sebenarnya struktur cost Garuda itu memang harus bermain di sekitar TBA," jelas Ikhsan.
"Nah itupun yield (keuntungan) yang kita dapat sekitar 2 persen. Karena memang maskapai marginnya tipis," imbuhnya.
Dengan penurunan TBA dari regulator, perusahaan maskapai berpelat merah itu mengaku harus memutar otak untuk mengurangi biaya operasional perusahaan.
"Kita memang harus menekan cost untuk bisa bertahan hidup. Cost-cost yang kita tekan itu pasti cost yang di luar berkaitan safety (keselamatan penumpang) atau kesejahteraan karyawan. Yang dua itu tidak boleh diganggu gugat," tegas Ikhsan.

"Otomatis kita mengacu ke cost lain, misalnya pelayanan mungkin akan kita sesuaikan. Layanan kita kan full service, ya mungkin berkaitan dengan layanan full service kita sesuaikan dengan penekanan TBA di 12-16 persen ini," pungkasnya.
Curhat Penumpang
Sejumlah pemudik asal Sumatera Utara dan Aceh yang tinggal di Bandung mengaku stres. Sebab lonjakan harga tiket pesawat jelang Lebaran semakin menggila.
Warga Takengon, Aceh, Safutra Rantona salah satunya. Ia masih tidak percaya tiket H-7 Idul Fitri yang biasa dibelinya pada tahun-tahun sebelumnya, harganya selangit.
“Dulu (tahun lalu) bawa uang Rp 5 juta sudah bisa PP Jakarta-Takengon (Aceh). Kalau sekarang minimal Rp 12 juta. Baru lebaran kali ini saya stres gara-gara tiket pesawat,” ujar Safutra kepada Kompas.com di Bandung, Selasa (14/5/2019.
Pada Idul Fitri 2018, Safutra cukup mengeluarkan Rp 1,2 juta untuk tiket pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno Hatta-Kualanamu Medan. Jika dilanjutkan dengan penerbangan Kualanamu-Bandar Udara Takengon Rembele cukup Rp 2 juta.
Namun kini untuk penerbangan di periode yang sama, harga tiket Lion Air dari Bandara Soekarno Hatta-Kualanamu Rp 2,3 juta. Jika dilanjutkan ke Takengon, bisa habis lebih dari Rp 3 juta.
“Hitungan itu belum untuk makan selama perjalanan dan biaya menginap saat transit di Medan,” imbuhnya.
Menunggu kepastian turunnya harga tiket pesawat dari Kemenhub
Kondisi ini yang membuat Safutra Rantona belum memutuskan untuk mudik melalui jalur darat. Ia pun menaruh harapan pada Kementerian Perhubungan yang katanya akan mengevaluasi harga tiket.
“Saya menunggu keputusan paling baik dari kementerian, katanya dalam minggu ini akan diumumkan,” ucapnya.
Jika mentok, maka ia akan pulang menggunakan bus. Harga tiket bus dari Jakarta menuju Takengon sekitar Rp 900.000. Namun waktu yang harus ditempuh berhari-hari dan melelahkan.
Pemudik lainnya, Irma Suryani mengalami kebingungan serupa. Seharusnya Lebaran tahun ini ia pulang ke Medan, Sumatera Utara. Sebab tahun lalu, ia tidak pulang karena sejumlah pekerjaan.
“Tapi harga tiketnya tinggi sekali, di luar prediksi saya. Kayaknya saya akan kuras tabungan untuk bisa mudik,” imbuhnya.
Ia pun mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan harga tiket ini secepatnya. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah hilang.
Baca: Pastikan Distribusi Aman, Dirkeu Pertamina Pantau Tulang Punggung BBM di Jateng