Selasa, 7 Oktober 2025
ABC World

Pemilu 2019 Cerminan Kesenjangan Ekonomi Yang Dibungkus Isu Agama

Fenomena ijtima ulama yang muncul selama periode Pemilu 2019 di Indonesia dianggap sebagian pihak sebagai cerminan politik identitas.…

Fenomena ijtima ulama yang muncul selama periode Pemilu 2019 di Indonesia dianggap sebagian pihak sebagai cerminan politik identitas. Namun lebih dari sekedar isu agama, politik identitas ternyata diangkat untuk menyuarakan masalah kesenjangan ekonomi yang makin lebar di negara ini.

Poin utama:

  • Kesenjangan ekonomi merupakan salah satu akar dari merebaknya politik identitas di Indonesia
  • Jika calon Presiden-Wakil Presiden lebih dari dua, kemungkinan polarisasi dalam politik bisa dicegah
  • Islamisasi di Indonesia berbeda dari versi Suriah, kata peneliti IPAC

Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Achmad Munjid, menilai politik identitas yang kental muncul dalam gelaran Pemilu 2019 bersumber dari masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia yang kemudian dilihat dengan menggunakan lensa agama.

Munjid menekankan masalah sebenarnya terletak pada kesenjangan ekonomi.

Akibat globalisasi, fraksi-fraksi yang ada di tengah masyarakat Indonesia makin dalam. Ekonomi negara ini, katanya, makin baik namun di lain pihak kesenjangan antara golongan kaya dan miskin makin lebar.

Konsep kesenjangan, menurut Munjid, sangat efektif bagi pihak-pihak yang mengusung gagasan orang Islam sebagai korban.

"Itu (politik identitas) sangat efektif dipakai yang mau melawan pihak yang sedang berkuasa karena dilihat sebagai orang yang tidak berpihak pada Islam," katanya dalam diskusi Politik dan Agama di Indonesia yang berlangsung di Jakarta (2/5/2019).

Saat ini, masyarakat Islam di Indonesia disebut Munjid sebagai golongan mayoritas yang memiliki mentalitas minoritas.

"Sekarang banyak orang melihat kenyataan saat ini dengan kacamata masa lalu," ujar dosen ilmu budaya di UGM itu.

Ia lalu merujuk rezim Soeharto yang banyak menempatkan menteri-menteri non-Muslim dan dipandang kelompok Islam, saat itu, memiliki kebijakan yang merugikan golongan mereka.

"Semua menteri strategis itu, Menteri Keuangan, gubernur (Bank Indonesia) juga, jadi secara umum sebelum 90an itu, secara jelas, kebijakan Soeharto itu menganaktirikan orang Islam."

Namun menjelang era 90an, apalagi setelah periode itu, kebijakan Soeharto justru menganakemaskan golongan Muslim karena dukungan terhadap Soeharto sudah menurun. Selain itu, ada perbedaan generasi yang jauh, ditambah lagi kelas menengah Islam yang sudah meningkat dan tak bisa lagi diabaikan.

"Dan itu membuat mereka merasa... dulu disingkirkan, sekarang mereka merasa \'nah ini kesempatan\'," jelas Munjid.

Apalagi setelah reformasi, kelompok Islam bisa mengekspresikan diri mereka secara bebas sehingga penggunaan simbol agama Islam di ruang publik sangatlah kuat.

Peneliti jebolan Amerika ini menyebut fenomena politik identitas tersebut erat kaitannya dengan formalisasi Islam.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved