Senin, 6 Oktober 2025
ABC World

Putri Gus Dur Bahas Ayahnya di Melbourne

Dalam hidup jadilah orang yang lucu, karena humor itu bisa mendekatkan satu manusia dengan yang lainnya. Juga dalam hidup jangan terlalu…

"Itulah yang kami lakukan dengan Gerakan Gus Durian, gerakan sejuta orang, menciptakan simpul-simpul dimana-mana yang bisa mempersatukan kita semua," kata Inayah lagi.

Menurut Inayah, Gus Dur, dalam pandangannya bukanlah tokoh pluralisme atau tokoh yang membela hak kelompok minoritas.

"Gus Dur membela kemanusiaaan, membela kelompok yang dilemahkan, Gus Dur ingin semua orang bisa menjadi diri mereka sendiri, karena itulah menurutnya merupakan jalan ke perdamaian."

Dubes Indonesia untuk Australia Kristiarto Legowo memberikan pandangannya mengenai Gus Dur di Monash.
Dubes Indonesia untuk Australia Kristiarto Legowo memberikan pandangannya mengenai Gus Dur di Monash.

Foto: Sastra Wijaya

Sementara itu Dubes Kristiarto Legowo dalam pidatonya melihat apa yang dilakukan Gus Dur ketika menjabat Presiden RI tahun 1999-2001 menjadi peninggalan yang terus dikenang dan dihormati sampai saat ini.

"Bagi saya Gus Dur adalah bapak pluralisme Indonesia. Gus Dur tidak hanya memperhatikan keadaan kelompok minoritas, namun dia juga memastikan minoritas mendapat perlakuan yang sama di Indonesia," kata Kristiarto Legowo.

Keputusan Gus Dur untuk mengakui Kong Hucu sebagai agama, mengijinkan kembali kesenian Tionghoa dan perayaan Imlek sebagai hari nasional dan juga penggantian nama Irian menjadi Papua menjadi contoh dari apa yang dilakukannya terhadap kelompok minoritas di Indonesia.

Dubes Kristiarto kemudian bergurau dengan mengatakan bahwa juga mengikuti petunjuk Gus Dur.

"Istri saya juga adalah keturunan Tionghoa," katanya.

Sementara Prof Tim Lindsey membeberkan mengenai apa yang dilihatnya sebagai meningkatnya sikap intoleransi Indonesia yang bertentangan dengan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Gus Dur.

Tim Lindsey mengupas mengenai peraturan hukum di Indonesia yang masih saling bertentangan satu sama lain soal kebebasan beragama termasuk penganut kepercayaan.

"Di salah satu pasal UU ada pasal yang memberikan kebebasan warga untuk menganut agama atau kepercayaan namun di sisi lain ada peraturan tambahan yang mengatakan bahwa negara bisa mengatur kebebasan itu sesuai dengan kondisi yang ada," katanya.

Menjawab pertanyaan mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia baru-baru ini yang mengijinkan penganut kepercayaan mencantumkan keterangan di KTP, Prof Tim Lindsey mengatakan bahwa pengakuan itu belum disertai dengan jaminan untuk melindungi mereka yang akan mencantumkan hal tersebut di KTP mereka.

"Ini berpotensi membahayakan mereka yang berani mencantumkan keterangan sebagai penganut kepercayaan di KTP mereka, namun bagaimana dengan jaminan perlindungan hukum bila ada sesuatu yang terjadi dengan mereka," kata Prof Linsdey.

Mengutip berbagai data yang ada, menurutnya, tingkat intoleransi di Indonesia sekarang ini lebih buruk dibandingkan di masa pemerintahan Orde Baru.

"Kebanyakan konflik yang ada adalah konflik horisontal, antar kelompok masyarakat, bukan konflik vertikal antara aparatur negara dengan warga," paparnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved