RSBI Dibubarkan
RSBI Siantar Hanya Untuk Tambah Proyek Pendidikan
(SMK) Negeri 3 Pematangsiantar menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI)

Laporan Wartawan Tribun Medan/ Adol Frian Rumaijuk
TRIBUNNEWS.COM , PEMATANGSIANTAR - Dijadikannya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 3 Pematangsiantar menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI) ternyata tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Termasuk internal sekolah, berpendapat berbeda tentang RSBI.
Diterbitkannya ketetapan Mahkamah Konstitusi tentang pembubaran RSBI yang berjumlah sekitar 1.300 sekolah di Indoneisia itu menimbulkan berbagai pendapat. Satu diantaranya adalah SMK N 3 Pematangsiantar.
Dimana, saat hal ini ditanyakan Tribun Medan kepada salah satu Wakil Kepala Sekolah SMKN3 Pematangsiantar, Henri Tampubolon, Rabu (9/1/2013), mengatakan tidak sepantasnya ada pembedaan sekolah dengan sebutan RSBI atau SBI. Karena hal itu tidak sepenuhnya dilakukan dengan standart mutu pendidikan yang lebih baik. Melainkan hanya brand semata.
"Kita sepakat, jika itu tidak lagi diberlakukan. Karena memang kerap menjadi bahan proyek saja," ujarnya. Dikatakannya, selama ini pelaksanaan dengan pelaporan kerap terjadi hanya dengan ditukang-tukangi. Dengan kata lain, hanya untuk mencoba mempertahankan gelar RSBI itu sendiri. Tidak ada upaya ke arah perbaikan sistem yang bahkan sedikit lebih baik.
Menurut Henri, banyaknya kesempatan untuk memanfaatkan RSBI mendapatkan dana-dana dari pemrintah atau pihak lain seolah alasan penerapan RSBI. Karena, kata Henri, berbagai program kerja yang direncanakan ternyata hanya proposal proyek semata.
Banyaknya bantuan berlatarbelakang siswa, justru kerap tidak sampai kepada siswa. Sehingga tidak benar-benar menyentuh kepada siswa dimaksud. Juga masih belum selayaknya diterapkan di daerah ini, jika dilihat dari segi ketersediaan dan kemampuan daerah.
Sementar itu, Kepala Sekolah SMKN3 Safruddin Nasution tidak berhasil dihubungi untuk dimintai keterangannya.
Ketua Komite SMKN3, Drs Anggiat Sinurat mengatakan di satu sisi dirinya sepakat dengan keputusan MK. Dengan menolak adanya pengkastaan dalam dunia pendidikan. Sehingga, setiap warga negara harus mendapat perlakuan sama sesuai dengan pesan UUD 1975 pasal 42 bahwa seluruh warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
"MK dalam memutuskan hal itu juga, harus mengeluarkan kebijakan lain. Untuk menjamin terlaksananya kemerataan pendidikan itu. Jaminan bahwa seluruh anak dijamin mendapat pendidikan yang merata," ujarnya kepada TRIBUNNews.com Network.
Kemudian, menurutnya, selama ini pendidikan juga tak pernah diperoleh seluruh warga negara dengan merata. "Tetap saja, mereka yang lahir di keluarga dengan ekonomi baik yang mengecap pendidikan itu," ujarnya.
Dengan kebijakan yang baru ini, hendaknya seluruh sekolah yang sempat berlabel RSBI atau SBI yang berkisar 1.300 sekolah itu tetap mempertahankan pola pelayanan pendidikannya. Dimana, kurikulum pendidikan hendaknya bisa tetap diterapkan dengan tetap mengutamakan nutu pendidikan.
Bila perlu, ujar Anggiat yang juga dosen Pasca Sarjana Universitas Simalungun ini, pola pendidikan di Indonesia harus mampu menekan minset masyarakat yang kerap mengejar pendidikan luar negeri. "Kita harus mampu mengajak warga asing belajar di Indonesia. Kita sajikan pendidikan yang berkualitas," ujarnya.
Dengan demikian, tujuan pendidikan itu akan tercapai. Dan kembali diingatkannya, agar MK menerbitkan kebijakan dalam menjamin keseragaman memperoleh pendidikan bagi warga Indonesia. "Meski sebenarnya ada perbedaan daya tangkap seorang anak terhadpa mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Sehingga perlu dilakukan pembedaan kelas, agar penyampaian materi bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan," ujarnya.
Kemudian, Pengamat Pendidikan Kota Pematangsiantar H Natsir Armaya Siregar mengatakan bahwa selama ini pemberlakuan sistem pendidikan RSBI, SBI, maupun sekolah unggulan merupakan diskriminasi bagi warga. Sementara UUD mengatakan bahwa seluruh warga mendapat pemberlakuan sama untuk mendapatkan pendidikan.