Kejaksaan Tidak Bisa Eksekusi Theddy Tengko
Menyikapi tekad Kejaksaan yang masih terus berupaya untuk mengeksekusi Theddy Tengko, pakar hukum tata negara Yusril Ihza

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyikapi tekad Kejaksaan yang masih terus berupaya untuk mengeksekusi Theddy Tengko, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengingatkan semua pihak agar sama-sama mentaati norma hukum yang berlaku. Putusan Theddy Tengko kata Yusril jelas tidak dapat dieksekusi karena putusan Mahkamah Agung yang menghukum dirinya batal demi hukum berdasarkan ketentuan Pasal 197 KUHAP.
"Jaksa tidak dapat memaksakan kehendak, dengan dalih melaksanakan Pasal 270 KUHAP sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Kalau putusan batal demi hukum, tidak ada dasar apapun bagi jaksa untuk melakukan eksekusi," ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Senin(17/12/2012).
Bahwa secara materil lanjut Yusril bisa saja seorang terdakwa dinyatakan terbukti bersalah. Namun jika ketentuan hukum acara tidak dipenuhi, dan menyebabkan putusan batal demi hukum, maka pengadilan sebagai institusi negara yang menanggung kesalahan. Jangan kesalahan negara dibebankan kepada warganya yang diadili.
"Kalau hakim salah membuat putusan, maka hakimlah yang harus diberi sanksi. Bukan kesalahan hakim harus dipikul oleh orang yang diadili," kata Yusril.
Silang pendapat terhadap putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP, sesungguhnya telah selesai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 yang lalu. Dengan putusan ini, maka ke depan, putusan pengadilan yang tidak cantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak batal demi hukum lagi. Namun mengingat berdasarkan Pasal 47 UU MK putusan tersebut tidak berlaku surut, maka putusan pengadilan sebelum tanggal 22 November 2012 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi.
"Kejagung harusnya konsisten membaca putusan MK yang tidak berlaku surut tersebut. Kalau inkonsisten, maka Putusan MK tentang tidak sahnya Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung juga harus berlaku surut sejak 20 Oktober 2009, bukan sejak diucapkannya putusan MK pada tanggal 22 September 2010 saat putusan dibuat. Akibatnya akan sangat luar biasa bagi Kejagung, karena semua tindakan kejaksaan sejak 20 Oktober 2009 menjadi batal semuanya," jelas Yusril.
Lebih jauh Yusril menambahkan ada penetapan MA yang membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Ambon yang menyatakan putusan MA tidak dapat dieksekusi. Penetapan MA tersebut jelas-jelas melanggar Pasal 46 UU Peradilan Umum dan Pasal 32 UU Mahkamah Agung.
"Pembatalan semua penetapan pengadilan di bawah MA hanya dapat dilakukan melalui kasasi. Paulus E Lotulung dan Djoko Sarwoko seenaknya membatalkan penetapan PN Ambon hanya berdasarkan surat permohonan biasa dari Kejari Dobo, tanpa proses kasasi, jelas-jelas merupakan tindakan yang menginjak-injak hukum dan mempermalukan institusi MA sebagai peradilan tertinggi,"kata Yusril.