Tribunners / Citizen Journalism
BP Migas Dibubarkan
BP Migas Bubar Harga BBM Tetap Terancam Naik
Dalam gugatan PP Muhammadiyah dkk tentang UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas
BP Migas Bubar Harga BBM Tetap Terancam Naik
Oleh; DR Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM--Dalam gugatan PP Muhammadiyah dkk tentang UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Badan Pelaksana (BP) Migas bertentang dengan konstitusi.
Lalu, apa manfaat bagi masyarakat atas putusan MK itu ? Keuntungan yang bersifat material tentu saja tidak ada. Berlakunya persaingan usaha yang sehat dan wajar juga dibenarkan MK serta menyetujui pemisahan hulu dengan hilir sehingga akan terjadi efisiensi berkeadilan.
Merujuk putusan MK 21 Desember 2004, harga migas ditetapkan oleh Pemerintah seperti diatur pasal 28 ayat (2) UU Migas, sama sekali tidak diubah. Sisi lain Indonesia mengimpor minyak olahan sebanyak 40 persen dari total kebutuhan 65 juta kilo liter.
Inilah yang menjadi argumentasi saya, betapa pentingnya Pemerintah terbuka menyampaikan struktur biaya produksi sendiri untuk premium, dan bagaimana struktur biaya impor migas.
Dari dua struktur biaya ini, maka kita akan peroleh harga campuran. Dengan ketergantungan pada impor itulah, ditambah tekanan lembaga multilateral dan tekanan negara adidaya, maka putusan MK kali ini pun tidak memberi jaminan harga BBM tidak akan naik.
Dengan argumentasi APBN tertekan karena subsidi BBM yang membengkak, dan subsidi itu dinikmati orang kaya, maka pemerintah tinggal menunggu kesempatan dan peluang politik kapan menaikkan harga BBM menjadi Rp5.500-Rp6.000 perliter.
Alhasil, putusan MK tentang BP Migas yang inkonstitusional justru keputusan setengah hati jika melihat desakan publik yang menolak berlakunya mekanisme pasar bebas atau neoliberal.
Bahkan esensi keputusan itu membenarkan berlakunya persaingan usaha di sektor enerji. Hal ini terlihat pada bagaimana MK menerjemahkan hak negara menguasai sumberdaya dan penerapan kelembagaan pada penguasaan sumberdaya. Soal harga minyak yang sudah diputuskan MK pada 21 Des 2004, putusan MK 13 November 2012 pun tidak berubah.
Bahkan dengan merujuk UU 5/1999 tentang Persaingan Usaha Yang Sehat dan Wajar atau dikenal anti monopoli, MK membenarkan dipisahnya hulu dengan hilir migas (unbundling).
Menurut MK, sebagaimana keputusan MK sebelumnya, hak negara menguasai mencakup lima hal. Yakni hak menerbitkan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, pengurusan dan pengawasan.
Hak ini ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Disebabkan keterbatasan pemerintah pada modal dan teknologi, maka pemberian kesempatan kepada asing bersifat sementara.
Dengan demikian, kehadiran asing dalam industri migas di hulu, menurut MK, harus memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh pemerintah.
Karena BP Migas melakukan kontrak kerjasama, maka negara kehilangan diskresi atas hak menguasai sumberdaya. Negara bahkan kehilangan kewenangan pengelolaan. Yang terjadi lebih lanjut adalah, BP Migas berpotensi inefisiensi. Dari 8 hakim yang memutuskan, seorang hakim MK Haryono berpandangan berbeda (disenting opinion).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.