Selasa, 30 September 2025

Pentas Gandamayu

Teater Garasi Banyak Bermain Simbol di Pentas Gandamayu

Teater Garasi begitu banyak bermain simbol-simbol saat pentas Gandamayu.

Penulis: Willem Jonata
zoom-inlihat foto Teater Garasi Banyak Bermain Simbol di Pentas Gandamayu
Tribun Jakarta/JEPRIMA
Pementasan Repertoar Gandamayu dari kelompok teater eksperimental asal Yogyakarta, Teater Garasi dan didukung oleh beberapa pemain seperti Ine Febriyanti dan Ayu Laksmi di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (3/9/2012) malam. Pementasan Gandamayu itu merupakan salah satu bentuk dukungan dari Djarum Apresiasi budaya untuk melestarikan budaya bangsa sendiri, acara tersebut akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa-Rabu, 4-5 September mendatang dan menampilkan kesan glamour baik dari kostum, instalasi, bahkan musik yang kontemporer. (Tribun Jakarta/Jeprima)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata

TRIBUNNEWS.COM-JAKARTA
Durga dipenuhi kemarahan. Ia tinggal di sebuah hutan belantara yang suram dan menyeramkan. Daun-daun berserakan. Bau bangkai menyeruak.

Siapapun yang datang yang datang diliputi ketakutan. Kalika, sahabatnya itu, setia menemaninya hingga penantiannya tiba: Durga ingin kembali ke wujud semula sebagai Dewi Uma yang jelita.

Sementara, perang Batarayuda tengah berkecamuk. Dua pihak yang memiliki pertalian saudara, yakni Korawa dan Pandawa saling bunuh di medan tempur. Kunti, khawatir kelima anaknya yang disebut Pandawa, tidak dapat memenangkan peperangan. Korawa mendapatkan dukungan dari Kalantaka dan Kalanjaya, dua raksasa yang bisa kapan saja dipulangkan oleh Durga.

Kunti menemui Gurga di hutan Gandamayu, tempat Durga melewati masa kutukannya. Kunti memberanikan dirinya dengan sebuah tekad supaya Durga dapat membantu Pandawa untuk memenangkan perang melawan Korawa. Durga mencium kedatangan Kunti dan mulai mengatur muslihat.

Permintaan kunti akan dikabulkannya. Namun, ada syaratnya. Kunti harus menyerahkan putra bungsunya, Sahadewa sebagai tumbal untuk mengubahnya kembali ke wujud semula. Kunti tidak terima. Ia serta merta menolak memenuhi syarat tersebut. Baginya, lebih baik mati bersama kelima anaknya ketimbang mengorbankan Sahadewa untuk memenangkan perang. Kunti meninggalkan Gandamayu.

Durga tidak membiarkan Kunti pergi begitu saja. Ia lantas memerintahkan Kalika untuk merasuki tubuh Kunti dan membawa Sahadewa ke hadapannya. Kalika berhasil menjalankan tugasnya. Sahadewa dibawa ke Gandamayu. Ia diikat pada sebatang kayu penopang dinding miring yang hampir ambruk untuk menjalani prosesi ruatan atau penyucian Durga. Kunti meratap dan dipenuhi rasa penyesalan.

Teater Garasi memainkan banyak simbol saat mementaskan Gandamayu, bagian dari mitologi dari epik Mahabarata, adaptasi dari novel karya Putu Fajar Arcana, dengan judul serupa. Simbol-simbol itu berwujud ornamen-ornamen yang akrab dengan keseharian. Seperti upacara ruawatan tokoh Durga tidak ditampilkan dalam ritual tradisional. Teater garasi menggunakan ranjang rumah sakit lengkap dengan infus yang tergantung di tiang penyangga sebagai gantinya.

"Sejak awal kita mencoba ceritanya dari masa lalu, tapi kita bawakan dengan cara masa kini. Ranjang rumah sakit adalah simbol dari sakit ya, dari sesuatu yang enggak benar, sesuatu yang enggak sehat itu diruat. Di mana Durga yang diasingkan kemudian dikembalikan. Kita kemudian mencari bentuk-bentuk ruatan di zaman sekarang ini, biar jatuhnya tidak seperti upacara tradisional," terangnya.

Bahkan, latar panggung dibuat cukup sederhana tetapi penuh makna. Misalnya, di sisi kiri panggung terdapat dinding yang miring kemudian ditopang oleh dua batang kayu besar. Menurut sutradara Gunawan Maryanto, dinding miring menggambarkan Gandamayu yang anker, genting, dan mencemaskan. Dinding itu bisa rubuh kapan saja. Dan lakon Gandamayu berada di bawahnya.

Para pemainnya tidak satu pun mengenakan busana ala pewayangan. Beberapa tokohnya dipoles jauh dari kebiasaan. Kalika yang diperankan oleh Dewi Laksmi, sebagai contohnya. Kalika tidak ditampilkan sebagai raksasa buruk rupa seperti patung ogoh-ogoh yang diarak sebelum Hari Nyepi di Bali. Tetapi, malahan tampak sebagai wanita rupawan dengan mengenakan busana warna putih yang cerah. Durga, yang diperankan Ine Febriyanti, mengenakan busana merah, bukan hitam.

Dalam lakon tersebut, seorang ayah yang menuntun sepeda ontel bersama anak perempuannya yang lucu itu, sesekali muncul di atas panggung. Mereka melintas sambil mengomentari peristiwa yang terjadi di Gandamayu. Sang ayah membuat kesimpulan dan jawaban terhadap pertanyaan anak yang selalu penasaran tentang peristiwa di Gandamayu.

Memang tidak mudah mengadaptasi novel dalam bentuk seni teater. Itu menjadi tantangan yang mesti dijawab oleh sutradara dan pemainnya. "Bagaimana memindah dari Gandamayu yang semula novel yang naratif menjadi peristiwa. Makanya harus diolah. Kalau novel ruangnya bisa banyak. kalau panggung punya keterbatasan sendiri, enggak banyak ruang, tapi itu haris dilakukan secara efektif dan bisa mencakup semuanya," ucapnya.

Pertunjukan Gandamayu, diakui Gunawan memang belum sempurna. Karena para pemain baru sekali tampil di atas panggung sesungguhnya. Sound dan lampu juga baru dipasang. Tapi, ia berkeyakinan bahwa berkesenian merupakan proses. Ia mengharapkan pertunjukan lakon Gandamayu yang berlangsung malam ini dan besok (4-5 September 2012) di Gedung Kesenian Jakarta, bisa lebih baik dari kemarin.

Baca berita terkini lainnya

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved