Gagal Panen Capai 80 Persen
Ratusan petani di Blok Rancakeong, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Ratusan petani di Blok Rancakeong, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, terancam mengalami luka di tangan dan kakinya akibat limbah batu bara dan limbah cair dari pabrik-pabrik yang berada di Sumedang. Kuku para petani tersebut menjadi hitam dan mengkerut hingga ada yang hampir copot.
"Luka ini sudah saya alami sejak lima tahun ke belakang ini. Mungkin karena zat kimia dari limbah cair dan limbah batu bara," ujar Dayat (60), petani sekaligus pemilik lahan di Blok Rancakeong, Minggu (2/9/2012).
Dayat pun yakin petani yang ada di Linggar seperti di Blok Rancagarut, Rancabogoh, Rancasirem, juga mengalami hal serupa. "Rasanya sakit dan pedih, tapi jarang saya obati. Biar saja sembuh sendiri," ujarnya.
Luka tersebut dialaminya karena sering bersentuhan langsung dengan limbah ketika menggarap sawahnya. Ia menggunakan air dari anak Sungai Citarum, yakni Sungai Cikijing untuk mengairi sawahnya seluas empat hektare.
"Baunya seperti bangkai. Warnanya hitam seperti aspal. Biasanya malam, pabrik-pabrik itu membuang limbahnya," kata Dayat.
Tak hanya tentang penyakit, mengeluhkan kondisi lahannya. Lahan yang kerap ditanami padi itu tak lagi bisa digarap lagi sejak air Sungai Cikijing bercampur limbah. Dayat menilai, blok pertanian yang memiliki luas sekitar 100 hektare di Desa Linggar itu terancam tak bisa lagi ditanami. Dayat yang merupakan warga Kampung Cipasir RT 04 RW 09, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, ini menyebut, banyak tanah yang warnanya menjadi putih akibat limbah batu bara.
"Seperti ditaburi garam, tanahnya," ujar Dayat. Itu sebabnya, banyak petani yang gagal panen mencapai 80 persen pada semester ini. Petani juga banyak yang merugi karena modal bertani sebanyak Rp 9,5 juta dipastikan tak bisa kembali.
Dia mengatakan, limbah yang mengalir tak hanya cairan, melainkan limbah batu bara juga mengalir di Sungai Cikijing. "Kalau kemarau pasti banyak lumpur mengendap di pinggir sungai," kata Dayat. "Dulu sebelum air tecemar pada tahun 1980, sawah saya bisa memproduksi beras 10 ton. Sekarang untuk mengembalikan modal seperti beli pupuk saja susah," ujarnya.
Dayat pun berharap, ada perhatian dari pemerintah khususnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung. Pasalnya, kata dia, dinas terkait itu belum pernah meninjau lokasi yang terkena dampak limbah. Lagi pula, setiap pemilik tanah termasuk Dayat selalu membayar PBB tiap tahunnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung, Achmad Kustijadi, akan menindaklanjuti penyakit yang dialami para petani di Desa Linggar, khususnya, di Blok Rancakeong.
"Kemungkinan dampak dari limbah seperti kuku copot belum bisa dipastikan. Bisa saja ada wabah. Tapi kami akan mengirimkan petugas untuk memastikan hal itu," ujar Achmad ketika dihubungi melalui ponselnya, kemarin.
Sedangkan pihak Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Kabupaten Bandung, Atih Wintarti tidak bisa dikonfirmasi. Hanya nada sambung yang terdengar ketika dihubungi melalui ponselnya.