Tribunners / Citizen Journalism
Euro 2012
Bunga Tulip Itu Sedang Sekarat
Medan pertempuran di Stadion Hamburg itu disulap menjadi pentas pertunjukan seni bermain bola berkelas
Oleh: Willy Kumurur
TRIBUNNEWS.COM - Medan pertempuran di Stadion Hamburg itu disulap menjadi pentas pertunjukan seni bermain bola berkelas. Pertunjukan itu terjadi di suatu hari di bulan Juni 1988, menampilkan bintang-bintang yang membuat stadion itu kian benderang.
Saat itu, adalah laga semifinal Piala Eropa. Panggung pertunjukan itu memperhadapkan Belanda dan tuan rumah Jerman Barat. Belanda datang ke Jerman dengan dendam kesumat yang disimpan selama 14 tahun, sejak Tim Bunga Tulip itu kalah secara menyakitkan di final Piala Dunia 1974 di stadion Muenchen. Negeri kincir angin tampil dengan materi permain yang berbeda dengan tahun 1974, namun di bawah asuhan pelatih yang sama, yaitu Rinus Michel, pencipta total football yang menginspirasi tiki-taka Spanyol. Johan Cruyff, Johan Neskens, Ruud Krool, dan kawan-kawan menitipkan kesumatnya untuk dibalaskan oleh Ruud Gullit, Marco van Basten, Frank Rijkaard dan rekan-rekannya.
Dendam itu serasa tak mungkin dibalaskan ketika menit ke-55 Lothar Mattheus, gelendang brilian Jerman Barat, sukses mengeksekusi penalti, akibat pelanggaran terhadap Juergen Klinsmans di kotak terlarang. Sampai kapan kita mesti menyimpan dendam yang akan menambah dalam kekecewaan ini? Jerit pendukung tim oranye. Dengan nafas sesak para fans Belanda menunggu dan menunggu. Sampai menit ke-74, Ronald Koeman, si canon ball (tendangan meriam), palang pintu pertahanan Oranye menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Betapa miripnya dengan final Piala Dunia 1974: skor 1-1 yang dihasilkan dari penalti oleh Johan Neskens dan Paul Breitner. Saat itu, pertanyaan bertalu-talu di benak para pendukung ke dua tim: siapa yang akan menjadi ‘Gerd Muller’, der bomber, penentu kemenangan? Sejarah mencatat bahwa der bomber itu bukan Jerman Barat, melainkan dari Belanda: Marco van Basten yang menjebol gawang Der Panzer di menit ke-88. Tak hanya Piala Henry Delaunay dapat diraih oleh Tim Oranye, namun tugas dan dendam itu dapat ditunaikan lunas, sekaligus mempermalukan tuan rumah di depan publiknya sendiri.
Itulah momen terindah yang ditorehkan Belanda sekaligus mempertemukan impian dan kenyataan bahwa sepakbola menyerang dapat mempresentasikan keindahan sekaligus kemenangan. Namun, nasib tak selalu ramah kepada tim oranye, sejarah tak selamanya berpihak. Di final Piala Dunia 2010, Belanda gagal mewujudkan mimpi menjadi juara dunia untuk ketiga kalinya setelah sebelumnya gagal di final 1974 dan 1978; kegagalan yang menyebabkan trauma bagi Negeri Kincir Angin itu. Derde Trauma (trauma ketiga), ulas De Telegraaf setelah kekalahan atas Spanyol di Afrika Selatan.
“Kini saatnya bagi Belanda,” ujar Arjen Robben, sebelum “diledakkan” oleh “Dinamit” Denmark. Namun “saat” yang diimpikan Robben dan rekan-rekannya, semakin jauh. Adalah Michael Krohn-Dehli, pemain Denmark, yang menjauhkan harapan Robben itu, akibat gol semata wayang di penyisihan Grup B, grup “neraka” yang membuat Bert van Marwijk seperti “dipanggang api.” Laga melawan Jerman dan Portugal ibarat laga final baginya dan anak-anak asuhannya. Suasana amat hening ketika mereka memasuki kamar ganti usai dihajar Denmark; Rafael van der Vaart menggambarkan situasi di kamar itu dengan "Anda bisa mendengar seekor lalat terbang."
Tengah malam nanti, lawan mereka adalah musuh abadi yang sedang berbunga-bunga oleh kemenangan atas Portugal. Sang Bunga Tulip itu sedang bermuram durja, karena kekalahan akan membuat mereka tersingkir dari persaingan dan ambisi untuk menjadi yang terbaik di benua biru. Akan luluh-lantakkah Tim Oranye? Akan layu kah Si Bunga Tulip masih masih sedang mekar itu?***
Willy Kumurur adalah pencinta bola
TRIBUNNERS TERBARU
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.