Selasa, 7 Oktober 2025

Muslim dan Kristen Jaga Kampung saat Pemeluk Hindu Nyepi di Karanganyar Jateng

"Jangan sampai cahaya lampu rumah ke luar. Ini bentuk penghormatan kami kepada warga yang tengah menjalankan ibadah Nyepi".

Editor: Mohamad Yoenus

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rika Irawati

TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR - Warga di Dukuh Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah membuktikan diri Indonesia adalah negara toleransi.

Hal itu dibuktikan saat pelaksanaan Nyepi beberapa hari lalu, menjadi bukti keragaman tak menghalangi rasa saling menghormati bahkan semakin mempererat kekeluargaan.

Rabu (9/3/2016) sore suasana di Dukuh Jlono mulai temaram. Alih-alih menyalakan lampu yang ada di pinggir jalan dan teras, warga justru menutup rapat gorden dan pintu rumah agar sedapat mungkin, satu-satunya cahaya lampu di kamar tak memancar ke luar.

"Jangan sampai cahaya lampu rumah ke luar. Ini bentuk penghormatan kami kepada warga yang tengah menjalankan ibadah Nyepi," ungkap Citro Suwarso, ketua RW 15 Dukuh Jlono, Karanganyar yang beragama Islam.

Dukuh di ujung timur Desa Kemuning ini terdapat 35 rumah yang dihuni hingga 60 kepala keluarga.

Dari jumlah tersebut, hampir separuhnya adalah pemeluk Hindu. Sisanya bergama Islam dan Kristen.

Pada Rabu itu, mulai pukul 06.00 hingga Kamis pukul 06.00, umat Hindu di Jlono dan Desa Kemuning melaksanakan ibadah Nyepi.

Ada yang di rumah namun tak sedikit yang memilih di Pura Tunggal Ika dan Jonggol Santiloka sebagai lokasi menyepi.

Pura Tunggal Ika berada di utara desa sementara Pura Jonggol Santiloka ada di ujung timur Dukuh Jlono.

Saat umat Hindu melaksanakan Catur Brata, umat non-Hindu menjaga keamanan dukuh.

Di sela kegiatan siang, sesekali kaum muda dan bapak-bapak warga dukuh setempat mengecek kondisi rumah warga yang ditinggal ke pura.

Malam hari pun mereka keliling dukuh yang diselimuti kegelapan, sambil membawa senter, untuk ronda. Mereka bertugas layaknya pecalang (polisi adat di Bali).

"Sudah kebiasaan kami sejak dulu seperti ini. Kami harap, harmonisasi dan kerukunan ini juga tertular ke wilayah lain, bahkan di Indonesia," ujar Hariyanto, warga Kristiani yang ikut berjaga.

Toleransi juga ditunjukkan keluarga Widyati Sutikno. Meski berjarak sekitar 200 meter dari Pura Tunggal Ika, lokasi Nyepi, dia tak menyalakan lampu di depan rumah dan sebagian di dalam rumah.

"Karena posisi rumah saya di bawah pura, kalau menyalakan lampu pasti kelihatan. Jadi, saya matikan agar kekhusukan umat Hindu yang tengah Nyepi terjaga," ujarnya.

Saat gerhana matahari, warga sempat bersembahyang agar fenomena alam ini tak memberi pengaruh buruk.

Seusai bersembahyang, ada pula yang menyaksikan gerhana matahari menggunakan kacamata ND5 sebelum melanjutkan tapa brata.

"Kami meminta Hyang Widi Wasa memberi ketentraman dalam kehidupan kami," kata Suwito, umat Hindu.

Bagi umat Hindu, Nyepi merupakan pergantian tahun menurut perhitungan kalender Hindu.

Nyepi kali ini menjadi pertanda pergantian Tahun Baru Saka 1938.

Saat Nyepi, mereka melaksanakan catur brata. Yakni, amati geni (tidak menyalakan lampu dan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Dalam kesunyian ini lah diharapkan komunikasi dengan Hyang Widi sebagai Sang Pencipta, memberi pencerahan dalam diri umat.

Di Kemuning, jumlah pemeluk agama Hindu terbanyak kedua setelah Islam.

“Toleransi umat beragama di Kemuning cukup tinggi. Kami akan terus menjaga keberagaman ini sebagai pemersatu warga,” kata Kepala Desa Kemuning Widadi Nurwidyoko yang juga tokoh Hindu desa setempat. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved