Wisata Kalsel
Serunya Backpacker ke Pulau Krasian, Ujung Kalimantan Selatan, Mulai Diempas Ombak hingga Ban Bocor
Pulau ini punya keindahan alam yang memesona. Mulai dari pantai, air laut, keramahan masyarakatnya, hingga kuliner khasnya.
Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, KOTABARU - Kalimantan Selatan memiliki banyak pulau.
Masing-masing memiliki keunikan tersendiri, khususnya kebudayaan masyarakatnya dan pesona alamnya.
Di Kabupaten Kotabaru misalnya, kondisi geografisnya lebih didominasi laut, selat, gunung, bukit dan pulau-pulau kecil.

Perjalanan menuju Pulau Krasian. (Banjarmasin Post/Yayu)
Bahkan ada pulaunya yang tak terdeteksi oleh situs informasi di internet seperti Wikipedia.
Kabupaten paling ujung di Provinsi Kalimantan Selatan ini dekat dengan Selat Karimata dan memang banyak dikelilingi pulau.
Di antaranya adalah Pulau Krasian.
Sejak beberapa waktu belakangan ini, pulau yang paling dikenal di kabupaten ini adalah Pulau Samber Gelap.
Sedangkan Pulau Krasian, tentunya masih asing bahkan bagi warga Kalimantan Selatan sendiri.
Kecuali bagi mereka yang tinggal dekat dengan pulau ini atau bahkan pernah ke sana.
Bahkan Banjarmasin Post (BPost) baru kali ini mendengar ada pulau di provinsi ini bernama Krasian.

Sunset di Pulau Krasian. (dokumentasi Bayu Aditya Rachman)
Saking asingnya, pulau ini bahkan tak terdata di situs informasi dunia, yaitu Wikipedia.
Jika dilihat di Google Map, pulau ini sangat kecil, bahkan bisa dikatakan tak tampak kecuali jika diperbesar.
Penampakannya hanya berupa sebuah titik kecil berwarna hijau agak pudar bahkan terkesan seperti segumpal kecil awan yang samar-samar dan tipis.
Bayu Aditya Rachman, pada 2014 lalu pernah berkunjung ke pulau ini, menuturkan pengalamannya kepada Banjarmasin Post.
Pulau ini, katanya, memiliki keindahan alam yang memesona.
Mulai dari pantainya, air lautnya, keramahan masyarakatnya, bahasa sehari-hari mereka hingga kuliner khasnya.
"Semuanya menarik. Apalagi, saya ke sana backpackeran. Menginapnya di rumah kepala desanya. Rumah-rumah mereka dari kayu dan kehidupan masyarakatnya sangat sederhana," jelas karyawan salah satu bank milik pemerintah di Banjarmasin ini.

Sore hari di Pulau Krasian. (Dok Bayu Aditya Rachman)
Taraf ekonomi mereka di kelas menengah ke bawah.
Karena tinggal di pulau, rata-rata pekerjaan mereka adalah nelayan.
Tak heran jika kemudian kuliner khasnya kebanyakan berbahan ikan.
Ragam kulinernya, menurutnya, sangat unik dan jauh berbeda dari makanan tradisional di daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan.
Mereka bersuku Mandar.
"Beda sekali makanannya, baru sekali itu saya menemui makanan-makanan tersebut. Saya nggak tahu nama makanannya. Satu-satunya makanan yang ada tersaji di sana dan dimana pun mudah ditemui di Indonesia hanyalah telur dadar. Selebihnya, beda banget, benar-benar kuliner khas suku Mandar dari Pulau Krasian," ungkapnya.
Selama tiga hari dia dan teman-temannya menginap di sana.
Dia benar-benar turut merasakan denyut kehidupan masyarakat setempat seperti apa.

Suasana di Pulau Krasian. (Dok Bayu Aditya Rachman)
Warga sana, sangat jarang yang mengerti Bahasa Indonesia, kecuali sang kepala desa.
"Mungkin bisa dikatakan nggak ada yang bisa Bahasa Indonesia. Sehari-hari mereka bercakap-cakap menggunakan Bahasa Mandar. Saya berbicara sama mereka pakai bahasa isyarat," katanya.
Pulau ini terpencil. Walau begitu, di sana sudah ada sekolah dan masjid.
Di sana sudah dialiri listrik kendati dibatasi pemakaiannya hanya dari pukul 18.00 Wita hingga 24.00 Wita.
Warga sana masih jarang yang menggunakan peralatan elektronik.
"Di sana ada sih televisi, tapi setahu saya cuma kepala desanya yang punya," paparnya.
Masing-masing rumah memiliki sumur untuk persediaan air.
Hawa di sana dingin dan banyak angin.
Jika mandi di sana, air yang baru membasahi badan langsung terbang disapu angin.
"Jadi, badan seperti cepat kering. Padahal baru saja mengguyur badan. Hawanya di sana beda, banyak angin dan pohon kelapa," katanya.
Pemandangan di pulau ini bagus dan belum terjamah orang asing.
Pulaunya dipenuhi pantai, pepohonan kelapa dan bukit.
Pemandangan pantainya tak seperti pantai-pantai pada umumnya yang dipenuhi hamparan pasir nan putih.
Di sini, pesisirnya dipenuhi bebatuan besar-besar.
Uniknya lagi, pesisirnya hanya tampak dari pukul 09.00 Wita hingga 11.00 Wita tiap harinya.
"Di luar waktu itu tenggelam karena air pasang," ujarnya.
Pulau Krasian memiliki tetangga yang kehidupan masyarakatnya lebih makmur.
Namanya Pulau Kerayaan.
Jarak perjalanannya sekitar 1,5 jam naik perahu.
Dia sempat ke sana juga.
Rumah-rumah warganya lebih bagus.
"Kalau di Krasian rumahnya kayu dan taraf ekonomi warganya menengah ke bawah, sementara di Kerayaan rumah warganya dari semen. Secara ekonomi mereka lebih kaya dari warga Krasian. Mereka pekerjaannya ada yang menjual minyak, berdagang, dan sebagainya," tuturnya.
Menuju ke pulau ini bukanlah perkara mudah.
Apalagi jika backpackeran.
Pasalnya, lokasinya yang terpencil, jauh dari pusat kota, kondisi alamnya yang dipenuhi bukit, bebatuan besar dan gelombang tinggi membutuhkan jiwa berpetualang dan kondisi fisik yang prima.
Dia waktu itu memulai perjalanannya dari Banjarmasin menggunakan sepeda motor bersama beberapa temannya.
Dari Banjarmasin dia menuju Batulicin di Kabupaten Tanahbumbu.
Dari situ, terus jalan ke arah Lontar.
Selama di Lontar, perjalanan bukan berarti mulus terus.
Dia pernah kebocoran ban dan harus berjalan kaki selama beberapa jam mencari tukang tambal ban.
"Waktu itu sempat bertemu pria membawa golok. Tampaknya garang. Sempat takut waktu itu. Kami pikir perampok karena kabarnya di sana ada perampoknya. Ternyata bukan, dia cuma warga sekitar yang entah sedang apa dengan goloknya itu, hanya mampir untuk menanyakan kondisi kami. Terus, dia kasih tahu dimana bengkel terdekat," ujarnya.
Selama di Lontar, mereka memarkir sepeda motor di rumah warga.
Bayarnya sukarela saja dan tergolong aman.
Karena dia backpackeran, biaya perjalanannya lebih murah, yaitu hanya Rp 500.000.
Makanan dan minuman dibawa sendiri.
Selama di jalan, sesekali singgah membeli mi instan dan makan di tempat.
"Di sana nggak ada warung. Minya dimasak di dapur warga dan makannya juga di dalam rumah mereka, padahal mereka jualan mi instan tapi nggak kayak warung," tutupnya.
Nah, dari Lontar ini perjalanan dilanjutkan melalui laut dengan menaiki kelotok ke Pulau Krasian.
Tarifnya suka rela saja.
Perjalanannya sekitar satu jam.
Selama di laut ini, perjalanannya lebih menantang karena dia dan teman-temannya harus bergelut dengan ganasnya ombak.
Ombaknya bukan main tingginya, yaitu sama dengan tinggi badannya yang jangkung.
Selama satu jam itu, dia harus merasakan kelotoknya dihempas-hempas gelombang.
"Jadi, begitu kelotok turun setelah berada di atas gelombang, gelombang berikutnya sudah menanti di depan. Saya sampai kaget karena besar sekali dan tingginya sama dengan saya," sebutnya.
Bahkan, ada cerita penumpang yang pandai berenang sekalipun bisa tewas terkena ganasnya ombak di sana, apalagi yang tak bisa berenang.
Sementara dia tak bisa berenang, namun dia beruntung bisa selamat tiba di Pulau Krasian.
"Ada teman saya yang begitu mendengar cerita tentang ombaknya itu, dia takut sekali dan langsung tak jadi ikut. Dia menunggu kami pulang di Batulicin. Jadi, hanya saya dan empat teman yang tersisa waktu itu yang berani melanjutkan ke Krasian," katanya.
Padahal saat dia ke sana, musim angin tergolong aman untuk laut.
Saat itu, November 2014 sedang kemarau dan cuaca bagus namun ombaknya sudah sebesar itu.
Tiba di Pulau Krasian, dia dan teman-temannya harus berjalan kaki lagi menyusuri pulau itu selama berjam-jam hingga tiba di rumah sang kepala desa untuk ikut menginap.
Medannya pun cukup menantang fisik karena harus melalui jalan bebatuan dan bukit-bukit.
"Total perjalanan 17 jam dari Banjarmasin. Kalau sekarang bisa 10 jam saja karena jalannya sudah lebih bagus. Kalau pas saya dulu, pas November 2014 belum bagus jalannya jadinya lebih lama perjalanannya," sebutnya. (Yayu Fathilal)