Kamis, 2 Oktober 2025

Travel Story

Kisah Nury Risma yang Sangat Takut Tiap Naik Pesawat, Badan Gemetaran Seperti Orang Mau Melahirkan

Betapa tersiksanya Nury Risma, tiap kali naik pesawat, karena takut ketinggian. Tiap terjadi turbulensi, dia pegang erat-erat penumpang di sebelah.

Kompas/ Riza Fathoni
Kondisi turbulensi yang dialami pesawat saat terbang sering membuat sindrom terbang semakin menjadi. 

TRIBUNNEWS.COM - Salah satu obsesi terbesar manusia modern adalah terbang. Oleh karena itu, terbang menggunakan pesawat semestinya menjadi aktivitas yang menyenangkan.

Akan tetapi, banyak penumpang pesawat yang tersiksa karena mereka takut ketinggian.

Ketakutan itu dipicu oleh berbagai hal seperti saat terbang dia diliputi bayangan yang liar terhadap penerbangan. Ada yang takut terbang lantaran terlampau sering menyimak berita-berita tentang kecelakaan pesawat terbang.

Ada juga yang sejak awal takut ketinggian. Meskipun takut terbang, mereka ini tetap naik pesawat, bahkan hingga puluhan kali dan akan terus bertambah.

Sebutlah Nury Risma (30), pebisnis di sebuah multilevel marketing (MLM). Bagi dia, naik pesawat merupakan penyiksaan karena dia tidak pernah dapat menikmatinya. Melihat awan dari balik kaca jendela saja dia pusing.

Dia selalu memilih kursi lorong menghindari jendela. Begitupun toh tidak lantas membuatnya nyaman. Sepanjang jalan ibu satu anak ini menatap monitor di depan kursi yang memberikan informasi tentang ketinggian, jarak jelajah, kecepatan angin, hingga sisa waktu.

Itu dia lakukan sambil terus berdoa. ”Begitu masuk pesawat, gemetar. Sepanjang jalan wiridan, he-he-he,” kata Nury, yang tidak pernah bisa tidur sepanjang perjalanan, padahal penerbangan yang dijalani bisa sampai delapan jam.

Sepanjang penerbangan, yang dirasakan Nury adalah takut jatuh. Dia selalu merinding setiap kali kakinya tidak memijak tanah. Badan rasanya terombang-ambing tidak berdaya.

Orang yang duduk di samping Nury selalu jadi korban karena setiap tinggal landas atau mendarat, tangan Nury mencengkeram lengan mereka erat-erat. ”Kayak mau lahiran,” komentar seorang rekannya.

Kejadian paling menegangkan dialami Nury saat terbang dari Beijing ke Singapura melintasi laut Vietnam. Sepanjang laut Vietnam itu terjadi turbulensi berulang kali hingga satu setengah jam.

Dia bertanya kepada Adrian, seorang pramugara, yang kemudian menjelaskan bahwa kondisi cuaca sedang tidak bagus. Nury makin cemas.

Ketika terjadi turbulensi yang lebih hebat dan Adrian pas melintas, Nury tiba-tiba memegang erat tangan sang pramugara.

”Untungnya dia baik dan ramah. Saya diambilkan air hangat dan ditemani sampai turbulensinya berhenti,” papar Nury yang setelah mendarat tak lupa foto bareng sang pramugara.

Informasi kecelakaan

Ketakutan serupa dirasakan perempuan pebisnis, sebut saja Ani (33). Semula dia sangat menikmati penerbangan. Belakangan dia beberapa kali diserang panik ketika berada di udara lantaran dia teringat kecelakaan pesawat terbang.

Kebetulan dia memang gemar membaca seputar dunia penerbangan. Ketika terjadi kecelakaan, Ani mengikuti pemberitaannya sampai detail, mulai dari peristiwa hingga analisisnya. ”Eh, jadi kalau pas lagi turbulensi atau cuaca buruk kok jadi parno sendiri karena sering nonton pembahasan kecelakaan pesawat terbang.”

Surya Pratama (47), karyawan sebuah perusahaan, kerap menghindar kalau harus bepergian dengan pesawat. Ia merasa paling tak berdaya ketika berada dalam pesawat yang mengangkasa.

Dalam benaknya, badan pesawat tak akan cukup kokoh untuk mengarungi langit.

Pada saat penerbangan berjalan tenang tanpa gumpalan mengusik sekalipun, Surya bisa membayangkan lantai pesawat seolah-olah bakal jebol.

Di sisi lain, ia membayangkan tak akan ada harapan hidup jika pesawat mengalami kecelakaan. ”Kalau terperangkap dalam bus karena suatu kecelakaan, misalnya, masih bisa dibayangkan usaha menyelamatkan diri seperti apa. Kalau di udara bagaimana?” ujarnya.

Beberapa hari sebelum bepergian dengan pesawat, Surya biasanya sudah stres. Namun, puncak ketegangannya tentu terjadi ketika ia memasuki pesawat.

Akhirnya, ia meminum obat penenang tiap kali menempuh penerbangan jarang menengah dan panjang.

”Begitu masuk pesawat, minum obat penenang itu, biasanya efeknya saya bisa tidur nyenyak. Teman seperjalanan yang kadang mengeluh karena saya tidur terus, tidak bisa diajak ngobrol,” ujarnya.

Penyair Warih Wisatsana (50) jauh hari sebelum naik pesawat selalu stres. Ia bahkan bisa muntah-muntah seminggu sebelum keberangkatannya dari Bali menuju Jakarta, misalnya.

Di dalam kabin, jika di kantong kursi tersedia lembaran doa, ia akan membacanya dari semua agama berulang-ulang.

”Kalau masih boleh memilih, saya lebih baik berkereta,” katanya. Ketakutan itu, katanya, dipicu oleh imajinasinya yang liar tentang ketinggian dan pesawat. ”Saya tidak bisa pasrah. Selalu mikir gimana kalau jatuh...,” tuturnya.

Meskipun takut terbang, Nury, Ani, maupun Surya tetap akan naik pesawat. Dalam waktu dekat ini, Ani dan Nury sudah merencanakan perjalanan.

”Aku pengin melihat dunia belahan Bumi yang lain. Aku suka jalan-jalan. Aku terpaksa naik pesawat karena tidak mungkin ke Korea (misalnya), naik kereta he-he-he,” kata Nury yang sudah puluhan kali
terbang.

Turbulensi

Kapten Boby Ary Subagio, Quality Manager di Training Center Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan, menjelaskan, turbulensi terjadi karena adanya perubahan aliran udara sehingga mengganggu keseimbangan pesawat.

Turbulensi bisa diakibatkan oleh kecepatan udara atau awan yang berakibat pada perubahan aliran udara. Saat terjadi turbulensi, pesawat terguncang seperti mobil saat melintasi jalan berlubang atau gundukan.

Indriatno Mulyatmoko, Flight Safety Instructor dari Garuda Indonesia, menambahkan, sebelum terbang, pilot pasti mengadakan briefing dengan awak pesawat yang antara lain membahas cuaca selama penerbangan.

Mereka sudah mengantongi catatan prakiraan cuaca dari lembaga terkait sehingga paham betul apa yang harus dilakukan, termasuk membatalkan atau menunda penerbangan jika cuaca tidak memungkinkan.

Ia menambahkan, turbulensi itu sebuah keniscayaan bagi penerbangan. Apalagi untuk pesawat yang melintas di wilayah khatulistiwa seperti Indonesia yang sering terjadi pancaroba dan berpengaruh pada cuaca. ”Tapi kami sudah menghitung secara cermat semua kemungkinan demi keselamatan penumpang,” katanya.

Semua awak kabin dan pilot, lanjut Mulyatmoko, sudah mengetahui prosedur yang harus dilakukan jika terjadi turbulensi. Pilihan paling bijak bagi penumpang adalah mengikuti seluruh instruksi awak kabin dan tak perlu panik.

Gangguan kecemasan

Diah Karmiyati, psikolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, menjelaskan, ketakutan terbang termasuk gangguan kecemasan. Sumbernya biasanya peristiwa traumatik yang tidak harus dialami sendiri. Sumbernya bisa dari berita atau cerita teman yang memengaruhi keadaan psikologis menjadi trauma.

”Mereka sudah membayangkan hal-hal yang ekstrem bagaimana kalau hal itu menimpa aku. Kecemasan yang mendominasi memengaruhi pemikiran (kognitif) bisa berpikir macam-macam yang perlu diluruskan,” ujar Diah.

Ia menganjurkan penumpang yang cenderung takut terbang agar memilih maskapai yang aman atau paling kecil angka kecelakaannya. Cara lain, terbang dengan mengajak teman yang dapat memberi ketenangan.

Dalam kondisi harus pergi seorang diri, upayakan menyibukkan diri untuk mengalihkan pikiran negatif tentang terbang, misalnya dengan menonton film atau membaca.

Diah menyarankan agar menghindari meminum obat tidur atau sejenisnya karena dikhawatirkan berdampak buruk pada badan. Apalagi bagi mereka yang harus sering terbang. (MHF/DAY/CAN)

Sumber: KOMPAS
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved