Era Inter Milan seusai Simone Inzaghi, Cristian Chivu Hadir Membawa Semangat Baru

TRIBUNNEWS.COM - Dalam olahraga, termasuk di cabang sepak bola, sebuah era tidaklah abadi. Empat tahun kebersamaan Inter dengan Simone Inzaghi berakhir duka yang mendalam.

Kalah di Liga Champions dengan skor 5-0 atas PSG, kalah saing di domestik untuk Coppa Italia, dan Liga Italia, serta ditinggal sang pelatih pada akhir musim.

Lengkap sudah rasanya bagi skuad Inter menelan pil pahit itu dengan keterpurukan, dan mereka punya segudang masalah soal pembenahan mental.

Direksi Inter mengambil langkah cepat, tidak banyak lagi opsi pelatih yang tersedia hingga akhirnya dipilihlah Cristian Chivu sebagai penerus Simone Inzaghi.

Pelatih asal Romania itu bukan sosok asing bagi Inter.

Ia pernah meraih treble winner di era Jose Mourinho. Saat menjalani karier sebagai pelatih, Chivu menangani tim muda Inter termasuk primavera.

Sederhananya, penunjukkan Chivu sebagai penerus Inzaghi bukanlah tanpa sebab.

Formasi yang telah dibangun Inter selama bertahun-tahun, mulai dari Conte hingga Inzaghi sejalur dengan apa yang diterapkan Chivu belakangan ini, yakni memainkan formasi 3-5-2.

Baca juga: Prediksi Skor Monterrey vs Inter Milan di Piala Dunia AntarKlub: Ujian Chivu Bawa Nerazzurri Bangkit

Itulah mengapa Chivu ditunjuk karena ia diharapkan bisa melanjutkan proyek yang sudah dibangun selama ini.

Sejak hadir ke skuad Inter Milan untuk mempersiapkan tim melakoni Piala Dunia Antarklub, Chivu membawa semangat baru.

Pengalamannya yang dilatarbelakangi kesuksesan Inter dan pelatih tim mud di berbagai level usia bakal membimbing skuad Nerazzurri pada era baru.

"Kami harus menemukan energi itu dan pelatih membantu. Ia menekankan pentingnya perjalanan yang kami lalui dalam beberapa tahun terakhir, hal-hal hebat yang telah kami capai," ucap bek Inter, Alessandro Bastoni soal kedatangan Chivu dalam skuad, dikutip dari Football Italia.

Dalam empat tahun terakhir era Inzaghi, Inter mencapai dua kali final kompetisi terelit di Eropa, Liga Champions.

Namun sayangnya, langkah itu selalu terhanti di final dengan meraih kekalahan.

"Kami sudah bertanya pada diri sendiri mengapa final Liga Champions berakhir seperti itu, itu hanya respons manusia terhadap rasa heran," bebernya.