Super Pandit
Sorotan Liga 1: Mengapa Jarang Ada One Man Club & Kontrak Jangka Panjang di Klub Indonesia?
Saat di sepak bola eropa menghadirkan banyak pemain yang loyal yang hanya bermain untuk satu klub, di indonesia justru sebaliknya.
TRIBUNNEWS.COM - Saat di sepak bola eropa menghadirkan banyak pemain yang loyal yang hanya bermain untuk satu klub, di indonesia justru sebaliknya.
Sangat jarang ada pemain yang berlabel one man club hingga sang pemain memilih untuk gantung sepatu.
Tim-tim Liga 1 Indonesia begitu pelit memberi kontrak jangka panjang kepada para penggawanya.
Baik pemain lokal maupun asing, begitu banyak yang hanya mendapat kontrak jangka pendek oleh pihak klub.
Nama-nama mentereng yang sudah terbukti kualitasnya pun tak mendapat kepercayaan lebih dan kesempatan untuk bermain di klubnya dengan jangka waktu yang lama.

Baca juga: Sorotan Liga Italia: Poros Baru AC Milan & Monza, Rekan Bisnis Anyar Rossoneri Musim Depan
Baca juga: Kenyataan Pahit Tersingkirnya PSG di Liga Champions, Messi Akui Magis Kehebatan Real Madrid
Berbeda dengan klub-klub eropa yang tak segan memberi kontrak hingga 5 tahun, klub Indonesia terkenal pelit untuk memberi durasi kontrak yang lama.
Contoh yang paling nyata terjadi di musim ini adalah bagaimana Carlos Fortes dan Taisei Marukawa.
Mereka mampu tampil mentereng bersama Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Carlos Fortes yang bermain sebagai striker mampu mencetak 20 gol selama gelaran BRI Liga 1 2021/2022 bersama Arema FC.
Sedangkan catatan Taisei Marukawa lebih mentereng lagi, ia menjadi satu-satunya pemain yang sukses menyumbang dua digit gol dan assist di musim ini.
Persebaya Surabaya pun digendongnya menuju papan atas klasemen BRI liga 1 dengan sumbangan 17 gol dan 10 assist.
Namun, Arema FC dan Persebaya tak mampu mempertahankan dua pemain andalannya tersebut karena sisa kontrak yang habis.
Ya, keduanya hanya dikontrak selama 1 tahun dan ogah untuk memperpanjang kontrak lantaran mendapat tawaran yang lebih menggiurkan dari kontestan Liga 1 lainnya, PSIS Semarang.
Carlos Fortes dan Marukawa pun sudah resmi bergabung bersama PSIS per hari ini, Jumat (01/04/2022).
Hal tersebut jelas sudah menjadi resiko bagi kedua tim asal Jawa Timur itu untuk kehilangan dua pemain kesayangan mereka karena durasi kontrak yang begitu singkat.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa klub-klub Indonesia begitu 'pelit' untuk memberi kontrak jangka panjang kepada para penggawanya?
1. Finansial Klub

Sebagian besar para kontestan Liga 1 dapat dikatakan tak memliki finansial yang sehat.
Di tiap musimnya, hampir pasti mereka selalu kelimpungan untuk mengontrol keuangan mereka baik dari menggaji pemain dan membeli penggawa baru.
Untuk itu, durasi kontrak jangka pendek adalah solusi bagi mereka untuk menghebat biaya pengeluaran.
Semakin banyak durasi kontrak yang mereka berikan kepada pemain anyarnya, maka akan semakin mahal pula nilai kontrak sang pemain.
Tak heran, banyak nama mentereng yang hanya mendapat kontrak singkat bersama klub barunya.
Selain dua contoh di atas, Evan Dimas Darmono juga pernah hanya kontrak selama semusim dengan Persija Jakarta.
Padahal saat itu, gelandang Timnas Indonesia itu sedang dalam performa yang apik dan menjadi tulang punggung di lini tengah Macan Kemayoran.
2. Proses Scouting yang singkat

Tak seperti tim eropa yang begitu gencar melakukan scouting hingga berangkat keluar negeri untuk mencari pemain anyar yang berkualitas, klub Liga Indonesia lebih memilih jalan yang instan.
Tak jarang proses scouting hanya dilakukan dalam kurun waktu kurang dari satu bulan.
Untuk itu, durasi kontrak singkat yang mereka berikan menjadi solusi untuk mengantisipasi jika sang pemain memiliki performa yang tak memuaskan.
Khususnya di pemain asing, karena Liga 1 hanya memberi regulasi empat pemain asing saja di dalam skuat klub, maka sebagian kontestan Liga 1 lebih membilih memberi kontrak singkat kepada para legiun asing mereka.
Dan faktanya, memang banyak pemain asing di Liga 1 musim yang menampilkan performa buruk.
Yang paling disorot adalah striker asing milik Persebaya Surabaya, Arsenio Valpoort.
Didatangkan di paruh musim kedua untuk memberi suntikan tenaga di lini depan Bajol Ijo, penampilan pemain asal Belanda itu sangat mengecewakan.
Ia hanya mampu mencetak sebiji gol dari 11 pertandingan yang ia jalani bersama Persebaya Surabaya.
Praktis, di posisi striker Persebaya hanya mengandalkan Samsul Arif yang sudah berusia 37 tahun.
Meski mampu tampil apik dengan torehan 11 golnya, Samsul tak mampu membantu Marukawa untuk membawa Persebaya meraih gelar juara musim ini.
3. Jadwal Liga

Membandingkan Liga Eropa dan Indonesia adalah hal yang paling jelas untuk melihat wajah sepakbola di Tanah Air.
Selain membandingkan proses scouting, perbandingan pembuatan jadwal liga oleh pihak LIB dan PSSI dengan Liga Eropa juga terdapat perbedaan yang begitu mencolok.
Di Liga Eropa, jadwal liga tersusun rapi dari draft jadwal pertandingan hingga kapan musim akan berakhir.
Dari situ, klub-klub di sana dapat melakukan persiapan yang matang dari pembentukan skuat hingga merekrut pemain yang mereka inginkan dengan durasi kontrak yang tak singkat.
Namun di Liga Indonesia, jadwal yang dibuat tak pasti dan kurang terstruktur dengan baik.
Selalu saja terdapat kendala dan masalah yang membuat jadwal tak kunjung keluar dan harus diundur dengan durasi yang tak ditentukan.
Berkaca dari hal tersebut, membuat klub-klub Indonesia tak berani untuk memberi kontrak jangka panjang kepada pemain anyar mereka untuk menghindarkan para penggawanya dari 'memakan gaji buta'.
(Tribunnews.com/Deivor)