El Clasico
Kerendahan Hati vs Arogansi
PEP Guardiola dan Jose Mourinho akan kembali berada satu panggung untuk memamerkan, kecerdasan, kecerdikan dan kreativitas
Editor:
Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, BARCELONA - PEP Guardiola dan Jose Mourinho akan kembali berada satu panggung
untuk memamerkan, kecerdasan, kecerdikan dan kreativitas mereka mengatur
para seniman sepakbola dunia. Kali ini pertemuan keduanya bertajuk laga
panas El Classico.
Di atas panggung agung Catalonia, Stadion Camp Nou, Selasa (30/11/2010)
dini hari, dua pria beda karakter ini akan mempertaruhkan dua nama besar
tim kebanggaan Spanyol yang tak pernah akur Barcelona dan Real Madrid.
Guardiola tak seperti Mourinho, ia adalah Catalonia sejati yang lahir dan tumbuh besar bersama Blaugrana. Memulai karier sebagai pemain lalu melanjutkan kemampuannya sebagai pelatih di tim akademi La Masia Barcelona bersama tim B.
Guardiola memancarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan filosofi Barcelona. "Mes que un club" atau segala sesuatu lebih dari klub yang dicerminkan dengan motto; bersaing, bermain dan menang dengan gaya dan humanisme.
Ia menjadi tokoh teladan ideal bagi Spanyol. Pembawaannya tenang, sopan, apatis dalam kemenangan, terhormat dalam kekalahan. Ia memancarkan etiket dalam klub dan semua nilai- nilai kesempurnaan Barcelona.
Tidak hanya seorang teladan dalam kebajikan, Guardiola juga telah membuktikan dirinya sebagai manajer yang sangat cerdik dan berhasil. Mempersembahkan trofi liga dan Liga Champions di musim pertamanya sebagai manajer Barcelona.
Sukses besarnya pada musim pertama ditandai dengan trofi treble yang diikuti oleh trofi lain; Spanyol Super Cup , Piala Super Eropa dan FIFA World Club Cup. Ia adalah salah satu pelatih Barca paling sukses sepanjang masa, setelah memenangkan 103 dari 142 permainan.
"Saya bisa merasakan apa yang saya lakukan. Saya mengambil keputusan berdasarkan atas insting bukan logika. Misalnya dalam melakukan pergantian pemain. Tidak ada buku yang baku buat melatih tim, pelatih hanya seperti pemain catur," kata Guardiola mengungkapkan kunci suksesnya sebagai pelatih.
Sementara Mourinho adalah pria asing namun cukup akrab dengan publik Catalonia di era tahun 90 an, ia bekerja di Camp Nou sebagai penterjemah Pelatih el Barca saat itu, Bobby Robson.
Pembawaannya bertolak belakang dengan Guardiola. Akrab dengan sesuatu yang berbau kontroversial, pandai memainkan emosi lawan, memprovokasi setiap lawan dengan kata-kata dan sangat arogan.
Ia menjuluki sendiri dirinya sebagai satu-satunya pelatih spesialis yang sanggup memberikan gelar juara ke klub manapun. The Special One adalah simbol filosofi arogansi pria berdarah Portugal tersebut.
Keluar dari Barcelona, Mourinho langsung pulang ke negaranya melatih FC Porto dan memberikan gelar Liga Champions. Ia kemudian masyhur, namanya menjulang ke angkasa hingga klub Inggris, Chelsea merekrutnya.
Di Inggris, Mourinho membangun singgasananya dengan megah. Berkali-kali mempersembahkan trofi juara Premier League, FA Cup dan Carling Cup yang membuatnya makin disegani di seantero jagat.
Sayang kegalalan meraih trofi Champions bersama Chelsea memaksanya hengkang lalu pindah ke Italia bersama Inter Milan. Di Italia, ia kembali sukses. Treble winner dipersembahkan di tahun keduanya. Hingga membuat petinggi Real Madrid memboyongnya ke Spanyol.
Kini tiba masanya bagi dua pria kesohor itu beradu strategi dalam sebuah partai dahsyat. Inilah pertarungan dua pelatih tersukses yang sama-sama pernah meraih treble winner.
Mata seantero jagat akan menjadi saksi; kerendahan hati seorang Guardiola atau arogansi Mourinho yang akan keluar sebagai pemenang. Dan pastinya semuanya akan ditentukan oleh keahlian keduanya mengatur strategi di atas lapangan nanti.