Kehidupan Pilu Aming, Atlet Tarung Derajat Yang Belum Mendapat Bayaran Selama Enam Bulan
Terhambatnya pembayaran uang saku atau gaji atlet kembali terjadi di Indonesia, kali ini atlet cabang olah raga Tarung Derajat yang mengalaminya.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terhambatnya pembayaran uang saku atau gaji atlet kembali terjadi di Indonesia, kali ini atlet cabang olah raga Tarung Derajat yang mengalaminya.
Permasalahan bermula saat para atlet Tarung Derajat DKI Jakarta dan pelatih belum juga menerima uang saku Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) yang sudah dimulai sejak Januari 2018. Itu berarti hinga bulan ini, mereka belum menerima bayaran selama enam bulan.
Besaran uang saku tiap atlet Pelatda adalah sebesar Rp 3.550.000 per bulan, untuk pelatih Rp 4.460.000 per bulan, dan asisten pelatih Rp 4.360.000 per bulan.
Saat ini Pelatda Tarung Drajat DKI Jakarta memiliki 11 Atlet yang terdiri dari 9 putra dan 2 putri, 1 pelatih dan 1 asisten pelatih. Semuanya disiapkan untuk menghadapi Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2020.
Aming, salah satu atlet DKI Jakarta cabor Tarung Derajat berani membeberkan kisah hidupanya setelah uang saku Pelatda selama enam bulan yang tak kunjung dibayar.
Aming sendiri merupakan atlet senior di cabor Tarung Derjat kontingen DKI Jakarta yang akan dipersiapakan untuk turun di ajang PON 2020 di Papua.
Aming pun mengatakan bahwa kejadian ini sebelumnya juga pernah terjadi, tapi permasalahan selesai saat pemerintah DKI langsung membayar sekaligus.
“Sebelumnya tahun kemarin juga pernah terjadi tapi akhirnya dirapel enam bulan. Tapi untuk sekarang belum ada, bahkan pembicaraan atau sekadar alasan mengenai kejelasan pembayaraan sampai saat ini juga belum terdengar,” kata Aming saat ditemui di kediamannnya di wilayah Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (22/6/2018).
Kehidupan Aming
Pada saat tim Tribunnews menyambangi kediamannya, Aming terlihat tengah sibuk mengepakan barang-barangnya untuk pindah ke kontrakan lain. Ya, Aming beserta keluarganya: Isrti dan dua anak memang sudah memutuskan pindah dari kontrakan yang ia telah tempati selama tiga tahun tersebut.
Di kontrakan sederhana yang hanya terdapat tiga petak itu, saya pun dipersilakan duduk di ruang depan yang tampak sudah mulai bersih dari berbagi perabotan rumah tangga.
Kisah pilu kehidupan Aming pun dimulai dari masalah pindah kontrakan. Bapak dua anak itu pun bercerita bahwa sebenarnya kemauan untuk pindah bukan lah kemauannya pribadi, melainkan kemauan dari sang pemilik rumah.
“Ya, sebenarnya kita belum mau pindah, tapi yang punya kontrakan mau pakai sendiri katanya,” ujar Aming.
“Kalau pembayaran ya, dengan kondisi seperti ini saya akui kadang memang telat bayar, atau kalau bayar seadanya dulu nanti baru kurangnya nyusul. Tapi kalau ada langsung juga saya bayar,” jelasnya.
Kontrakan yang ditempati Aming memang terasa sangat sederhana, tapi dengan harga 550 ribu perbulan termasuk listrik lah yang menjadikan Aming betah tinggal di kontrakan ini.
Dan sekarang ia dan kelurganya sekarang pindah ke kontrakan baru masih di wilayah yang sama dengan harga yang lebih mahal.
“Di sini itu enaknya bayarnya tidak terlalu tinggi, 550 ribu sebulan. Tapi kalau yang punya sudah bilang begitu ya mau apa. Terus sekarang pindah ke tempat yang lebih mahal, 800 ribu. Ya semoga aja kedepan rezeki ada lagi,” kata Aming.
Pekerjaan Sampingan Demi Hidupi Keluarga
Sejak uang saku atau honor ia berlatih di Pelatda tak kunjung turun hingga bulan keenam ini, sejak itu pula Aming memutar otak dan berusaha untuk mendapatkan uang tambahan demi sang istri dan kedua anaknya.
Salah satu pekerjaan yang ditekuni Aming ialah menjadi operator di toko percetakan yang tak jauh dari kediamannya. Di situ Aming bekerja dan mendapat gaji tak lebih dari dua juta.
Bahkan, Aming sempat menceritakan kisah lebaran tahun ini yang terasa sangat kekurangan, lantaran sebelum libur lebaran ia hanya dapat uang sejumlah satu juta rupiah dari tempat ia bekerja di percetakan.
“Jujur, lebaran tahun ini saya cuma dapat uang satu juta, karena kan saya memutuskan untuk kerja freelance saja biar bisa tetap menjalani latihan. Empat ratus saya buat bayar ini itu, dan enam ratus ribunya saya buat pulang kampung ke bogor sama keluarga,” cerita Aming dengan tatapan kosonganya.
Ketika di kampung halamannya, Aming pun mengaku turut bercerita tentang kehidupannya terutama masalah honor pelatda yang tak kunjung dibayarkan.
Mendengar certia Aming, sang Ayah pun mencoba membatu kesulitan Aming dengan mengatakan agar isrti dan kedua anaknya tinggal di kampung saja.
“Orang tua juga tahu masalah ini, tapi mereka tidak menentang saya terus menjadi atlet. Tapi harapan orang tua pinginnya anak istri tinggal dikampung, cuma kan saya mikir lagi anak-anak kan sekolah di sini, jadi sayang kalau dipindahkan ke kampung,”
“Tidak apa-apa saya berjuang di sini untuk anak istri. Setidaknya, sedikit banyak rezeki ya saya syukuri saja,” ujar pria yang sudah menekuni Tarung Derajat sejak 1999.
Mimpi Torehkan Prestasi Bagi DKI Jakarta
Bagi Aming, Tarung Derajat tidak bisa terpisahkan dari kehidupannya. Meskipun cucuran darah hingga patah tulang pun kerap ia rasakan saat waktu bertanding tiba. Tidak kapok.
Pria 28 tahun itu juga masih mempunyai mimpi besar. Mimpi yang harus ia bisa wujudkan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pensiun dari bela diri ini.
Ya, Aming ternyata mempunyai mimpi besar untuk menyumbangkan medali bagi DKI Jakarta. Alasan itu lah yang membuat Aming terus berlatih meski kehidupannya terasa sangat berkecukupan.
“Saya masih punya hutang untuk DKI. Saya ingin kasih medali di PON nanti atau kejurnas, karena PON sebelumnya saya belum bisa mewujudkan itu,”
“Saya bela DKI itu bukan hanya keringat, darah sampe patah tulang itu udah hal yang biasa. Waktu Pra PON kemarin saya sudah hancur hancuran. Hidung patah, tulang rusuk geser. Jadi itu tidak masalah buat saya, karena saya masih punya impian untuk DKI,” tegasnya.
Terakhir, Aming pun berharap Pemerintah DKI memperhatian atlet-atlet yang juga belum berprestasi karena mereka telah berlatih dan berjuang. Bukan hanya tenaga dan waktu, keluarga pun mereka korbankan.
“Saya berharap pemerintah DKI juga memperhatikan atlet-atlet yang sedang berjuang meski belum berprestasi, setidaknya uang saku bisa dibayarkan lebih dulu karena itu akan menunjang kehiduapan kami,” harapnya.
Sementara itu, hingga saat ini dari pihak Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta belum dapat dihubungi terkait masalah keterlambatan uang saku ini.