Ana Ivanovic Tuturkan Kisah Dirinya di Masa Perang
Kerja keras Ivanovic pun membuahkan hasil, karena akhirnya ia berhasil mendapat sponsor di usia yang masih sangat belia
TRIBUNNEWS.COM - Dentuman keras akibat bom yang dijatuhkan pasukan NATO kala membombardir Kosovo pada tahun 1999 selama 78 hari tak bisa hilang dari ingatan Ana Ivanovic.
Ia selalu teringat betapa sulitnya perjuangannya kala itu menjadi atlet tenis karena harus berlatih dan bertanding saat negaranya tengah dilanda peperangan.
Bagi Ivanovic, masa-masa tahun 90’an adalah momen paling sulit bagi negaranya. Kekasih Bastian Schweinsteiger itu menjelaskan masa peperangan membuat dirinya semakin sulit untuk berlatih maupun bertanding karena tenis bukan olahraga yang populer di Serbia.
“Pelatih mengatakan bahwa saya sangat berbakat dan memiliki potensi. Tapi karena berasal dari Serbia, itu tidak mudah. Tahun 90’an adalah tahun yang paling sulit bagi negara kami. Kami melalui dua peperangan. Sangat sulit bagi kami untuk berlatih dan bepergian, serta mendukung diri kami sendiri. Karena tenis bukan olahraga yang sangat populer di sana,” kata Ivanovic seperti dilansir sportsnet.ca.
Kendala seperti itu tak menghalangi Ivanovic untuk terus berlatih. Ia semakin semangat karena kedua orang tuanya memberikan dukungan penuh.
Kerja keras Ivanovic pun membuahkan hasil, karena akhirnya ia berhasil mendapat sponsor di usia yang masih sangat belia sehingga bisa mengikuti turnamen di luar negeri.
“Kecintaan saya pada permainan ini membuat orang tua saya mendukung penuh. Saya sangat beruntung mendapat sponsor di usia yang sangat muda. Itu membantu saya bermain di lebih banyak turnamen dan terkadang pergi ke luar negeri. Itu membantu saya membentuk diri sebagai pemain profesional,” tuturnya.
Wanita 28 tahun itu kemudian ditanya bagaimana dirinya berlatih selama masa perang. Ia menjawab saat itu para petenis yang berlatih selalu memiliki sirine sebagai tanda peringatan jika bahaya datang. Ivanovic juga masih ingat betul pukul berapa ia mulai mendengar bunyi keras ledakan bom setiap harinya.
“Ketika terjadi pemboman, itu sekitar siang hari hingga pukul enam pagi. Kami memiliki sirine yang menandakan bahaya datang. Jadi kami berlatih dari pukul tujuh hingga sembilan pagi, kemudian kembali ke rumah dan bertahan di sana hampir sepanjang hari. Tapi setelah beberapa bulan, mereka mulai berusaha beraktivitas normal. Jadi kami bisa mengadakan turnamen. Saat terjadi pemboman, kami juga mengikuti turnamen,” paparnya.
Ivanovic menambahkan, mereka memiliki aturan khusus ketika bertanding di sebuah turnamen selama masa perang. Jika sirine berbunyi, maka pertandingan langsung berakhir.
“Ya, kami memiliki aturan ini. Pertandingan akan dimulai, dan jika sirine berbunyi, pertandingan akan diakhiri. Dan tak ada yang mau memulainya. Jika melihat ke belakang, sangat bodoh jika memaksakan bertanding, terutama karena kami semua masih anak-anak. Tapi itu juga cara kami bertahan hidup,” imbuhnya.