Royalti Musik
Marcell Siahaan Nilai UU Hak Cipta Masih Buka Ruang Kriminalisasi Meski Penyanyi Sudah Bayar Royalti
Penyanyi Marcell Siahaan menilai sejumlah ketentuan dalam UU Hak Cipta. Menurutnya, UU ini membuka ruang kriminalisasi pada musisi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyanyi Marcell Siahaan berpendapat soal sejumlah ketentuan Undang-Undang Hak Cipta yang dinilainya masih membuka ruang kriminalisasi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ini berdampak pada pelaku pertunjukan musik, meski telah membayar royalti secara resmi.
Baca juga: Harusnya Agnez Mo Tak Digugat Apalagi Divonis Denda Rp 1,5 M, Ini Penjelasan Marcell Siahaan
Hal tersebut disampaikan Marcell saat hadir sebagai pihak terkait mewakili Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dalam sidang pengujian materi UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (10/7/2025).
“Saat ini telah terjadi kegagalan penerapan norma hukum hak cipta, khususnya terhadap pelaku pertunjukan, akibat keberadaan sejumlah ketentuan yang multitafsir dan diterapkan secara represif,” ujar Marcell.
Menurutnya, setiap norma hukum seharusnya memenuhi tiga asas fundamental, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sebagaimana dikemukakan dalam konsep filsuf hukum Jerman Gustav Radbruch.
Namun dalam konteks perkara ini, sejumlah pasal UU Hak Cipta yang mengatur soal pertunjukan dan mekanisme pembayaran royalti justru gagal memenuhi ketiga unsur tersebut.
"Ketentuan tersebut menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian hukum bagi pelaku pertunjukan, membuka ruang kriminalisasi meskipun royalti telah dibayar melalui sistem yang resmi," jelasnya.
Selain itu, Marcell menilai norma dalam UU Hak Cipta juga mengaburkan tanggung jawab hukum antara pelaku pertunjukan dan penyelenggara acara.
Di sisi lain, ketentuan yang berlaku juga melemahkan otoritas lembaga manajemen kolektif (LMK) yang dibentuk dan diakui oleh negara.
Ia menjelaskan, sistem pengelolaan royalti di Indonesia sejatinya telah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 89 ayat (1) hingga (3) UU Hak Cipta.
Pasal tersebut menyatakan bahwa royalti atas lagu dan/atau musik wajib dikelola melalui manajemen kolektif nasional, yakni lembaga yang mewakili para pencipta dan pemilik hak terkait.
“Ketentuan ini mencerminkan prinsip mandatory collective license atau perizinan kolektif wajib yang dalam praktik internasional dikenal sebagai extended collective licensing,” ujarnya.
Dalam pendekatan ini, lisensi yang dikeluarkan oleh organisasi kolektif dianggap sah dan mengikat seluruh pemilik hak, baik yang tergabung maupun tidak tergabung.
Ia menegaskan ihwal praktik tersebut juga diterapkan oleh banyak negara dengan sistem hukum kuat.
Bahkan beberapa di antaranya melarang secara tegas penarikan royalti secara langsung atau yang dikenal sebagai direct licensing.
Sebagai informasi, pengujian UU Hak Cipta ini digugat oleh Ariel Noah bersama 28 musisi tanah air dan teregistrasi dalam perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025.
Selain itu, ada pula pengujian serupa yang diregistrasi dalam perkara Nomor 37/PUU-XXII/2025.
Keduanya disidang bersamaan hari ini dalam agenda mendengarkan keterangan pihak terkait.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.