Mengabdi sebagai Juru Bahasa Isyarat Jadi Panggilan Sonya Maramis
Sonya Maramis, juru bahasa isyarat di debat Pilpres 2019, diketahui sebagai purchasing manager di sebuah perusahaan meubel.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurul Hanna
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Sonya Maramis, juru bahasa isyarat di debat Pilpres 2019, diketahui sebagai purchasing manager di sebuah perusahaan meubel.
Dari pekerjaannya itu, Sonya Maramis hidup mapan. Penghasilannya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Rasanya tak perlu lagi cari pekerjaan sampingan demi mendapat uang tambahan.
Namun, Sonya Maramis tak mau menyia-nyiakan kemampuannya sebagai juru bahasa isyarat. Bukan untuk uang, tapi karena panggilan jiwa.
Mau tak mau ia harus pandai-pandai bagi waktu antara pekerjaannya sebagai purchasing manager sebuah perusahaan meubel dan juru bahasa isyarat berbagai program di enam stasiun tv. Baginya tak ada kata sulit.
“Pekerjaan apa pun kalau tidak ada panggilan jiwa, akan sulit,” kata Sonya saat ditemui Tribunnews.com di kantonya.
Baca: Sonya Maramis, Juru Bahasa Isyarat di Debat Pilpres 2019 Nyanyi Lagunya Via Vallen Agar Tak Tegang
Sonya mengenang, pengalaman pahit justru yang membuka jalannya mempelajari bahasa isyarat. Bermula dari kecelakaan yang dialaminya 2011 lalu. Saat itu, kecelakaan membuatnya harus duduk di kursi roda.
Dalam keadaan putus asa dan mulai terpuruk, Sonya akhirnya mempelajari bahasa isyarat dibantu sang Bibi.
Sebelumnya, sang Bibi sudah terlebih dahulu mendalami American Sign Language, yakni bahasa isyarat dari komunitas tuli di Amerika.
Pengalaman mengunjungi komunitas disabilitas pun semakin meyakinkan dirinya.
Baca: Laman Facebook Sonya Maramis Ramai Setelah Videonya di Jeda Debat Pilpres 2019 Viral
“Saya lihat mereka, aduh teman-teman disabilitas dengan segala apa yang dia punya dia bisa tampil maksimal, kenapa saya enggak? Kok saya harus terpuruk seperti ini. Padahal banyak yang bisa saya lakukan, walaupun kita sebagai disabilitas,” katanya.
Wanita kelahiran 46 tahun lalu itu akhirnya mulai memperdalam bahasa isyarat.
Mendengar, melihat informasi, kemudian mengubahnya menjadi bahasa isyarat pun merupakan tantangan tersendiri.
Menurut Sonya, setiap hari adalah pembelajaran baginya.
“Bahasa Indonesia pun terus berkembang ya. Jadi belum benar-benar baku,” katanya.
Sonya yang pun ingin bekerja maksimal, saat dipercaya menjadi juru bahasa isyarat di Debat Pilpres 2019.
Sebisa mungkin, ia ingin para tuna rungu mendapat informasi yang tepat. Terlebih, informasi dalam debat Pilpres turut andil dalam menentukan pilihan mereka.
Uniknya, Sonya juga tak sekadar memperagakan bahasa isyarat.
“Ekspresi suara (capres dan cawapres) itu, juga kita harus tampilkan di mimik wajah. Nggak bisa kita diam saja,” katanya.
Termasuk, dalam mengekspresikan kalimat salah satu pasangan calon presiden.
“Kalau Pak Prabowo menggebu-gebu, muka saya pun tidak boleh datar (tanpa ekspresi saja),” katanya.
Saat ada istilah baru pun, tak boleh sembarangan. Dalam setiap program acara, termasuk debat Pilpres, juru bahasa isyarat bertugas dalam tim. Mereka terdiri dari dua orang juru bahasa isyarat, dan seorang penasihat bahasa tuli. Keberadaan penasihat bahasa tuli penting, untuk memverifikasi kebenaran bahasa isyarat yang sampaikan.
Jika ada istilah baru,Unicorn, misalnya. Saat pertama kali terucap, maka akan dieja.
Setelahnya, mereka harus mencari tahu definisi Unicorn. Maka pada saat terucap kedua kali, sudah bisa disampaikan melalui bahasa isyarat dengan lebih jelas.
“Kalau saya menyampaikannya, aplikasi, baru, bernilai di atas, 1 milliar dollar Amerika,” katanya sembari memperagakan bahasa isyarat.
Saat ini, Sonya menjadi juru bahasa isyarat untuk program berita di 6 stasiun televisi yang berbeda. Sonya berharap, Indonesia bisa memiliki standar khusus, untuk honor juru bahasa isyarat.
Menurutnya, juru bahasa isyarat tak ada bedanya dengan penerjemah bahasa asing.
“Bahasa isyarat termasuk bahasa unik nggak? Kalau misalnya bahasa Rusia dianggap tidak umum, sehingga orang yang menguasainya akan dibayar mahal apa kabar dengan bahasa isyarat?,” katanya.
Sonya berharap, kedepannya, akses dan fasilitas untuk para tuna rungu bisa dimaksimalkan. Ia juga mengajak kaum milenial, agar tak ragu belajar menjadi juru bicara isyarat.
“Teman yang masih muda, kita sama-sama kita belajar. Kalau itu merupakan panggilan hatimu, teruskan saja belajarnya. Berteman dengan teman teman tuli. Itu lebih cepat proses pembelajaran,” tutupnya.