Surau & Silek, Film Keluarga Berlatar Budaya Minangkabau
Film keluarga dihadirkan usai sang sutradara melakukan riset selama dua tahun di Bukit Tinggi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menengok sejarah puluhan tahun lalu, para tokoh Minangkabau mendominasi perkembangan zaman dan menorehkan sejarah Indonesia.
Sebut saja, tokoh Muhammad Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Hamka, Soetan Sjahrir, M. Natsir, Usmar Ismail dan Chairil Anwar lahir dan besar dari budaya Minangkabau.
Para tokoh besar dalam pendidikan Minangkabau ini percaya pendidikan di surau terbaik bagi putra mereka terutama yang telah akhil baliq.
Dari surau itulah mereka menimba ilmu agama sebagai pondasi dalam berperilaku, serta belajar ilmu silat atau silek dalam bahasa Minangkabau.
Ini mendorong pembuatan film Surau & Silek produksi Mahakarya Inc yang rencananya akan mulai tayang di gedung bioskop 27 April 2017.
"Masyarakat Minangkabau percaya bahwa pendidikan di surau atau musala dan Silek atau silat adalah yang terbaik bagi generasi mudanya," kata Arief Malinmudo, sang sutradara di Jakarta, Jumat (3/2/2017).
Film ini untuk mengingatkan, banyak orang yang beranggapan budaya surau tidak relevan dengan kehidupan yang kian modern.
"Film ini mengingatkan budaya yang lama ditinggalkan dari sudut padang anak SD berusia 11 tahun dan pensiunan dosen berusia 62 tahun. Selisih inilah yang membuat kontradiktif budaya tersebut makin manarik, bagaiman budaya surau dihadirkan," kata Arif.
Arief menambahkan, munculnya ide membuat film bergenre keluarga ini melalui riset selama dia tahun di Bukit Tinggi.
Film menceritakan di Minangkabau, ada Tiga sekawan Adil (10), Kurip dan Dayat adalah murid di perguruan silek (silat) yang dipimpin Rustam (27).
Rustam adalah seorang pemuda yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan mengetahui sedikit teknik tentang silat, namun tidak dengan filosofinya.
Pada sebuah laga final turnamen silat antar kampung, Adil dikalahkan oleh Hardi (10) dengan curang.
Setelah tunamen itu usai, tiga sekawan berlatih lebih giat untuk memabalaskan dendam mereka pada turnament yang akan datang.
Harapan mereka menjadi pupus ketika Rutam akhirnya memilih untuk pergi merantau.
Kehidupan tiga sekawanpun bagaikan layang-layang putus.
Dayat sibuk dengan kegemarannya makan dan bermain, Kurip sibuk dengan persiapan lomba pelajaran ilmu pengetahuan sosialnya.
Sedangkan adil, adalah yang paling keras kehidupannya, hidup berdua bersama ibunya yang bekerja di ladang orang lain, ayahnya sudah meninggal.
Satu ceramah yang selalu diingat oleh adil, “doa anak yang saleh adalah salah satu dari tiga syarat seorang yang telah meninggal untuk masuk surga”. Namun karena beban hidup, Adil banyak menemui rintangan untuk menjadi anak saleh.
Pertikaian antara tiga sekawan tidak bisa terelakkan karena perbedaan pendapat memandang pentingnya silek karena tak kunjung menemukan guru pengganti.
Hal ini membuat Rani (13) yang diam-diam mengagumi Adil, menceritakan pada kakeknya.
Kakek Rani kemudian menganjurkan Rani untuk menemui Johar (62), seorang teman kakeknya yang baru beberapa waktu pulang kampung untuk menikmati masa tuanya bersama istri.
Rani meminta tolong kepada Johar agar mau menjadi guru silek bagi teman-temannya, namun ditolak. Sampai pada suatu ketika istri Johar menyadarkan Johar untuk menerima tawaran Rani tersebut.
Adil, Dayat, dan Kurip akhirnya berlatih silek kepada Johar dengan metode latihan yang diterapkan Johar.
Mereka berlatih memulai dari falsafah silat di Minangkabau yaitu “ Lahir silek mencari kawan, Bathin silek mencari Tuhan”.