Minggu, 5 Oktober 2025

BMKG: 39 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Kemarau pada Juli 2025, Ini Daftarnya

BMKG: 39 persen wilayah Indonesia masuki musim kemarau awal Juli 2025, dipicu Monsun Australia

Editor: Glery Lazuardi
Freepik
ILUSTRASI MUSIM KEMARAU - Foto ini diambil dari Freepik pada Senin (23/6/2025) yang menampilkan ilustrasi musim kemarau. BMKG mengatakan musim kemarau yang seharusnya sudah mulai terasa di sebagian besar wilayah Indonesia ternyata mengalami keterlambatan signifikan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah zona musim (ZOM) di Indonesia telah memasuki musim kemarauhingga dasarian I (tanggal 1–10) Juli 2025.

Informasi ini disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui prospek cuaca mingguan yang dirilis pada Senin (14/7/2025).

BMKG menyebutkan, hingga awal Juli 2025, persentase wilayah yang sudah mengalami musim kemarau telah mencapai sekitar 39 persen dari total ZOM di Indonesia.

Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 9 persen dibandingkan cakupan wilayah sebelumnya yang hanya sekitar 30 persen pada akhir Juni 2025.

Peningkatan persentase wilayah yang masuk musim kemarau ini dipengaruhi oleh penguatan angin Monsun Australia.

Angin Monsun Australia adalah angin kering yang bertiup dari benua Australia bertekanan tinggi ke benua Asia bertekanan rendah, dan biasanya berembus saat musim kemarau

BMKG memperkirakan, angin Monsun Australia cenderung sesuai dengan normalnya pada Selasa (15/7/2025) hingga Senin (21/7/2025), berpotensi meningkatkan persentase wilayah yang memasuki musim kemarau tahun ini.

Baca juga: Cuaca Mingguan Periode 15-21 Juli 2025, BMKG: Kemarau Mulai Meluas

Daftar Wilayah yang Sudah Memasuki Musim Kemarau per Awal Juli 2025

Berdasarkan data BMKG, berikut adalah wilayah-wilayah yang sudah merasakan musim kemarau hingga awal Juli 2025:

Pulau Sumatera:

Aceh

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Bengkulu

Riau

Kepulauan Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Sebagian kecil Lampung.

Pulau Jawa:

Beberapa bagian Banten

Sebagian Jawa Barat

Jawa Tengah

Jawa Timur.

Pulau Bali dan Nusa Tenggara:

Sebagian kecil Bali

Sebagian kecil Nusa Tenggara Barat (NTB)

Sebagian Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pulau Kalimantan:

Sebagian kecil Kalimantan Selatan.

Pulau Sulawesi:

Sulawesi Selatan.

Pulau Papua:

Papua Barat

Papua.

Terkait cakupan wilayah yang sudah memasuki musim kemarau ini, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap menggunakan tabir surya dan mencukupi asupan cairan tubuh.

Hal ini penting karena cuaca terik dapat terjadi sewaktu-waktu selama musim kemarau berlangsung, sehingga menjaga hidrasi dan melindungi kulit menjadi krusial.

Pakar manajemen air dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Maryono, mengingatkan pentingnya mewaspadai potensi kekeringan.

Menurutnya, bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan terjadi karena masyarakat belum memiliki pemahaman yang utuh dan sistematis tentang kedua musim tersebut.

"Musim kemarau dan musim penghujan adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Saat musim hujan kita perlu mengelola air hujan untuk musim kemarau, saat kemarau kita mempersiapkan diri untuk menghadapi musim penghujan. Itu suatu siklus yang tidak terputus," jelas Agus, seperti dikutip dari laman UGM.

Baca juga: Kepala BMKG: Mundurnya Musim Kemarau di Indonesia Picu Cuaca Ekstrem Berkepanjangan

Pemanenan Air Hujan sebagai Solusi Utama

Agus menyoroti metode pemanenan air hujan sebagai cara efektif untuk mengantisipasi kekeringan.

Metode ini tergolong sederhana dan bisa diterapkan di berbagai skala, mulai dari rumah tangga, lahan pertanian, perkampungan, hingga industri.

Implementasinya bisa dimulai dengan membuat penampungan air di rumah dan mengalirkannya ke sumur resapan.

Untuk area pertanian, petani dapat membangun kolam konservasi sebagai wadah penampungan air hujan.

"Di Australia sekitar 40 persen rumah di perkotaan sudah memiliki tampungan air hujan, di pedesaan jumlahnya sekitar 60 persen. Di Indonesia masih nol koma sekian persen, padahal potensinya besar sekali," ungkap Agus.

Ia juga menegaskan bahwa kualitas air hujan aman untuk dikonsumsi dan berpotensi menjadi sumber daya air masa depan bagi kebutuhan manusia.

"Di beberapa daerah sudah dipasang, dan warga yang biasanya harus membeli air di musim kemarau sekarang bisa mendapat stok air yang cukup dari hasil penampungan air hujan," tambahnya.

Selain pemanenan air hujan, langkah lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan air saat kekeringan adalah mencari sumber air alternatif yang masih tersedia, misalnya di sepanjang aliran sungai atau sungai bawah tanah.

Masyarakat juga bisa merawat sumur-sumur yang tidak terpakai dan menggali lebih dalam.

Upaya semacam ini telah diterapkan oleh masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Mereka tidak lagi hanya bergantung pada pasokan air (dropping air), tetapi juga mengambil inisiatif mandiri untuk mendapatkan air.

"Di Gunungkidul ada banyak sungai di bawah tanah yang pada musim kemarau pun masih menyimpan banyak air. Dengan pompa yang banyak air di situ bisa diambil sehingga masyarakat tidak kekurangan air," tutur Agus.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved