Sabtu, 4 Oktober 2025

Wawancara Eksklusif

Di Indonesia, Kedelai Hanya Tumpang Sari (2-Habis)

Rantai pasokan kedelai sangat panjang dan rumit, sehingga harga kedelai lokal mahal. Tapi petani kedelai tak pernah makmur.

Editor: cecep burdansyah
Tribun Jabar/GANI KURNIAWAN
Ketua Pusat Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) Jawa Barat, Asep Nurdin saat sesi wawancara khusus bersama Tribun Jabar di Gedung Puskopti Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (2/6/2021). Wawancara terkait kondisi pengrajin tahu dan tempe pasca aksi mogok/libur produksi dan jualan akibat kenaikan harga bahan baku kedelai. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Mogok produksi seperti yang kembali terjadi pekan lalu, bukan kali pertama dilakukan para perajin tahu dan tempe di Indonesia.

Tahun ini saja, aksi mogok kemarin adalah yang kedua kalinya terjadi. Sebabnya sama: harga kedelai impor yang terus melambung.

Padahal, seperti diungkapkan Ketua Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) Jawa Barat, Asep Nurdindi, produksi kedelai lokal sebenarnya sudah mampu memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Berikut lanjutan petikan wawancara eksklusif jurnalis Tribun Jabar, Cipta Permana, dengan Ketua Puskopti Jabar, Asep Nurdindi di Kantor Puskopti Jabar, Jalan Soekarno-Hatta Nomor 651, Kota Bandung, Rabu (3/6).

Berapa sebenarnya kebutuhan kedelai setiap tahunnya di Jabar? Apakah mungkin petani lokal kita mampu memenuhi kebutuhan tersebut?

Kebutuhan akan kedelai di Jabar antara 150 hingga 200 ribu ton per tahun. Hingga saat ini kedelai lokal belum pernah mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Produksi kedelai lokal kita, seperti yang diklaim pemerintah, telah mampu memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional. Ini berarti seharusnya setiap 10 karung kedelai impor yang dijual para pedagang, ada tiga karung kedelai lokal yang turut di jual.

Tapi faktanya, dari penelusuran yang saya lakukan ke setiap toko kedelai di Jabar, tidak ada satu karung pun kedelai lokal yang tersedia.

Inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran kami bahwa negara akan terus ketergantungan terhadap impor kedelai dibandingkan memaksimalkan potensi dari kedelai lokal.

Apa yang membuat para petani lokal kita tidak bisa mengembangkan komoditas kedelai?

Ada beberapa faktor penyebab kedelai lokal kita tidak dapat bersaing dengan kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Salah satunya karena kedelai hanyalah tanaman sela dan bukan kebutuhan strategis seperti halnya jagung atau padi.

Itu sebabnya Jabar tidak memiliki perkebunan kedelai. Kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, di beberapa daaerah seprti Sukabumi, Kuningan, Majalengka, dan beberapa daerah lainnya, yang jika ditotalkan jumlahnya hanya sekitar 20 ribu hektare, dan semuanya diperuntukkan untuk tanaman benih.

Bagi sebagian petani, menanam kedelai juga tidak terlalu menggiurkan dibanding menanam jagung atau padi. Kedelai hanya bisa menghasilkan 1,5-2 ton per hektare. Bandingkan dengan jagung, yang mampu menghasilkan sekitar empat ton per hektarenya.

Bagaimana kondisi tata niaga atau rantai pasok kedelai yang ada di dalam negeri?

Tata niaga kedelai lokal itu tahapannya cukup panjang. Hasil panen dari tangan petani disalurkan kepada pengepul tingkat desa atau biasa disebut kelompok tani, dari sana disalurkan ke pengepul di tingkat kecamatan, selanjutnya dihimpun oleh pedagang besar untuk didistribusikan ke pengecer dan perajin.

Rantai distribusi inilah yang membuat harga kedelai lokal mahal. Pernah kami mencoba untuk memotong alur distribusi dari petani langsung ke para perajin tahu dan tempe. Tapi apa yang terjadi? Niat baik kami ini memunculkan gejolak dari para pengumpul di daerah. Sehingga terpaksa kami harus mengembalikan alur tata niaga seperti sebelumnya.

Inilah yang menyebabkan mengapa harga kedelai lokal kita tinggi, tapi para petani tidak pernah sejahtera.

Terkait  impor kedelai, apa sebenarnya masalahnya?

Hal yang ingin saya soroti soal impor kedelai ini adalah bagaimana pemerintah seolah memberikan kebebasan kepada siapa saja importir untuk bisa mendatangkan kedelai ke Indonesia.

Seharusnya pemerintah itu hanya mengeluarkan izin importir produsen, bukan izin importir umum seperti yang terjadi selama ini.

Bila ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan terjadi banjir barang di Indonesia secara tidak terkendali. Pemerintah juga harus menetapkan satu jalur distribusi. Dulu ada Bulog sebagai satu-satunya pendistribusi atau distributor yang menyalurkan barang-barang yang diimpor sebelum ke tangan pedagang dan perajin.

Melihat situasi saat ini, mungkinkah Indonesia dapat terlepas dari jerat importir kedelai?

Asal ada kemauan itu mungkin. Akan tetapi persiapannya harus sangat matang. Paling tidak kita harus punya kesiapan lahan untuk perkebunan kedelai seperti di Amerika, yang tidak tumpang sari dengan tanaman lainnya agar produktivitasnya maksimal. Tapi kalau tidak, maka jangan pernah berharap itu terwujud.

Mungkinkah pada akhirnya, para perajin tahu tempe di Jabar berhenti karena tidak mampu lagi untuk membeli bahan baku yang harganya terus naik?

Saat ini sudah mulai ada kecenderungan para produsen besar mulai menguasai, bahkan memonopoli kondisi pasar.

Kelak, akan tiba masanya tidak ada lagi perajin tahu atau tempe skala rumahan di Jabar. Mereka mungkin akan menjadi pedagang tahu tempe atau istilahnya ngeber dari para pengusaha yang memiliki pabrik pengolahan tahu dan tempe berskala besar.

Bila itu terjadi maka kedaulatan dan kebebasan sebagai perajin sudah hilang, dan mereka menjadi buruh, karena modal produksinya telah habis.

Apa harapan kepada pemerintah?

Pertama, untuk jangka pendek kami mengharapkan diresmikannya kedelai sebagai komoditas strategis yang dilindungi oleh pemerintah.

Untuk jangka panjang, kalau pun kita harus tetap impor, pemerintah harus mau dan mampu mengganti izin importir umum dengan mengeluarkan izin importir produsen, sehingga yang berhak untuk melakukan impor itu hanya lembaga yang menaungi para perajin. (*)

Baca juga: Pemerintah Masih Dingin Tanggapi Permintaan Perajin Tahu-Tempe (1)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved