Selasa, 7 Oktober 2025

Asal-usul Tradisi 'Tolak Petir', Tradisi Ratusan Tahun Yang Masih Dipegang Warga Sambikerep

Bakri melanjutkan, dahulu sebelum menggunakan jagung, masyarakat menggunakan beras ketan, yang melalui proses sangrai.

Editor: Hendra Gunawan
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Sebagai tradisi tahunan, warga Sambikerep RW 04, Surabaya menggelar tradisi "Barikan Berondong". Event bancakan (syukuran) unik ini untuk menyambut musim hujan dan tolak balak (menolak bencana) petir, Jumat (17/11). Dalam tradisi ini masyarakat Sambikerep, Surabaya berkumpul di Balai RW sambil membawa Barikan Berondong (Jagung Brondong atau pop corn, yang ditaburi gula merah atau gula pasir, dan serutan kelapa). 

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Zaman sudah jauh berkembang, teknologi juga semakin maju, namun ternyata hal itu tidak menghalangi warga Sambikerep, Surabaya, melupakan tradisi dan budaya leluhurnya.

Tradisi 'Barikan Brondong', menjadi salah satu tradisi yang masih ada di lingkungan masyarakat ini.

Sebuah tradisi yang mungkin sudah jarang berlangsung, terlebih di kota metropolitan seperti Surabaya.

Bakri Gunawan, Wakil Modin Sambikerep menuturkan Barikan Brondong adalah tradisi tolak petir yang sudah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.

Tradisi ini dilakukan setiap satu tahun sekali, kala musim hujan. Bakri menegaskan proses doa dan Barikan Brondong selalu diselenggarakan pada Jumat Legi, di mana hari ini dipercayai sebagai hari yang sakral.

"Jadi warga berkumpul sambil membawa brondong dan berdoa bersama meminta keselamatan," katanya, Jumat (17/11/2017).

Adapun yang perlu di bawa adalah brondong atau pop corn, dengan ditaburi gula dan kelapa serut. Makanan ini diletakkan di dalam sebuah wadah yang terbuat dari pelepah pisang.

"Jumlah brondong itu ditakar menggunakan dengan takaran beras, sebanyak orang yang ada di dalam anggota keluarga," jelasnya.

Sementara di atas nampan brondong itu, ada rangkaian daun di antaranya Daun Otok atau Pang'gil, daun kepodang, alang-alang, dan akar galing.

"Daun Otok atau Pang'gil menyimbolkan kekuatan, penangkal petir, Daun kepodang menyimbolkan sebagai pengayom, supaya dijauhkan dari marabahaya, daun alang-alang melambangkan suci. Sementara untuk pelepah pisang, pisang itu satu-satu tumbuhan dari segala bagian tumbuhannya bisa dimanfaatkan. Nah ini jadi simbol kerukunan," terangnya.

Konon katanya tradisi ini ada karena dulu, wilayah ini sering terkena sambaran petir.

Bakri melanjutkan, dahulu sebelum menggunakan jagung, masyarakat menggunakan beras ketan, yang melalui proses sangrai.

"Karena sudah tidak ada lahan untuk bertani, kami menggantinya dengan jagung. Itu pun ada orang Lamongan yang menjual pop corn atau jagung sangrai," jelasnya.

Tradisi ini terus dijaga warga masyarakat Sambikerep lantaran, menjadi salah satu acara yang bisa mengumpulkan mereka dalam satu tempat dan doa bersama.

"Kenapa dipertahankan, tradisi tetap dilestarikan, apa salahnya kita berdoa dan warga selalu antusias. Ini juga menambah warga semakin guyup dan rukun," tutupnya.  (Pipit Maulidiya)

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved