Sengketa Lahan Berbuntut Panjang, Ahli Waris Menembok Akses Gardu Induk PLN Denpasar
Pihak ahli waris I Gusti Made Mentog menembok akses masuk ke dalam gardu PLN Denpasar, Sabtu (14/10/2017).
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Kasus sengketa lahan antara warga dan pihak PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) berbuntut panjang.
Pihak ahli waris I Gusti Made Mentog yang mengklaim memiliki tanah seluas 20x210 meter di kawasan Gardu Induk PLN Jalan Imam Bonjol, Denpasar, menembok akses masuk ke dalam gardu tersebut, Sabtu (14/10/2017).
Akibatnya, kendaraan operasional PLN tidak bisa masuk ke dalam lokasi gardu.
Jika persoalan berlanjut dan akses ke gardu masih ditembok, pelayanan listrik di Denpasar dan Badung dikhawatirkan bakal terganggu.
"Sebenarnya kami tidak mau ribut, dan kami sudah cari win-win solution, tetapi ternyata tidak ada jalan keluarnya. Sebelumnya kami sudah ke banyak pihak seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional) Provinsi, BPN Kota, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Ombudsman, camat, wali kota, dan kepolisian tapi tidak ditemukan jalan keluar. Makanya, sekarang kami tembok," kata kuasa hukum ahli waris, AA Ngurah Agung Semara Adnyana, saat dijumpai dalam proses penembokan itu kemarin.
Kasus sengketa lahan antara ahli waris yang berasal dari warga Banjar Tampak Gangsul, Desa Dangin Puri Kauh, Denpasar Utara, dan pihak PLN ini sudah berlangsung sedari tahun 2005 silam.
Agung Semara yang mengaku memiliki hubungan kekeluargaan dengan ahli waris, menyebut dirinya memegang dokumen sebagai tanda bahwa kliennya memang memiliki lahan seluas 60x210 meter di kawasan gardu tersebut.
"Pihak PLN tidak bisa menunjukkan dokumen kepemilikan. Sementara kami punya bukti dokumen pajak yang kami bayar dari tahun 1995 sampai 2017 ini," kata Agung Semara, seraya mengungkap pajak yang dibayar atas lahan di sana sebesar Rp 2,8 juta sampai Rp 3 juta per tahun.
Pantauan Tribun Bali, sejumlah tukang sudah mulai bekerja menembok akses masuk gardu listrik yang berisi trafo 60 MVA itu.
Puluhan batako ditumpuk dan diplester sehingga menutup seluruh akses kendaraan untuk masuk ke dalam gardu.
Terlihat celah yang tersisa cuma seukuran badan orang dewasa.
"Kami tahu ini fasilitas umum, karena itu kami tetap memberi jalan sedikit," kata Semara.
Diungkapkan Semara, jika permohonan mereka tidak dikabulkan untuk mengembalikan lahan dan uang ganti rugi sewa, maka mereka akan membongkar tembok gardu tersebut.
"Nanti kami bongkar juga tembok di sana untuk bikin jalan buat tanah kami," kata Semara.
Sementara itu, Manajer PLN APP (Area Pelaksana Pemeliharaan) Bali, Eka Sudarmaja mengatakan, hingga kemarin pihak PLN memang belum memenuhi permintaan pihak ahli waris untuk menunjukkan dokumen kepemilikan tanah yang diklaim.
Sudarmaja beralasan, dokumen tersebut merupakan rahasia negara dan baru bisa dibuka ketika sudah berada di ranah pengadilan.
"Kami terus mendorong agar mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, tapi tidak kunjung dilakukan. Menurut saya, ini harus dibawa ke ranah hukum yang lebih tinggi," kata Eka Sudarmaja.
Pihak PLN kemarin mendatangi Polresta Denpasar guna melaporkan aksi penembokan yang dilakukan di tempat masuk Gardu Induk Jalan Imam Bonjol Denpasar itu.
PLN meminta pihak kepolisian bersikap.
Menurut PLN, dengan ditutupnya akses masuk gardu itu memungkinkan terjadinya gangguan pelayanan listrik di kawasan Badung Selatan dan Denpasar.
Sertifikat kepemilikan dengan catatan konfidensial pun akhirnya diberikan oleh PLN kepada pihak kepolisian sebagai syarat permohonan mereka diproses oleh kepolisian.
"Karena ini kan objek vital nasional, objek negara. Kira-kira apa respons dari kepolisian? Kalau dibiarkan seperti itu dan dampaknya listrik padam, ya yang penting kan kami sudah melaporkan. Jangan sampai nanti kami disalahkan kenapa terjadi pemadaman," Eka Sudarmaja menjelaskan.
Menurut Sudarmaja, berdasarkan dokumen yang dia pegang, kawasan yang diklaim milik I Gusti Made Mentog tersebut di dalam sertifikat tercatat atas nama I Gusti Putu Pemecutan.
Itulah sebabnya, mengapa pihak PLN menyebut kasus ini harus dibawa ke ranah hukum di pengadilan untuk menyelesaikannya.
"Kalau tanah yang diakui oleh mereka itu sudah SHM (sertifikat hak milik) yang diakui. Yang jelas di SHM itu bukan tanah I Gusti Made Mentog, tapi mereka mengklaimnya. Yang di SHM, I Gusti Putu Pemecutan. Karena itu, persoalan ini harus dibawa ke ranah lebih tinggi. Kalau pun nanti kita dinyatakan bersalah, akan kami terima," katanya.