Minggu, 5 Oktober 2025

Cerpenis Hamsad Rangkuti Terbaring Tak Berdaya di Rumah Sakit

Cerpenis Hamsad Rangkuti jatuh sakit, terbaring tak berdaya. Ia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak.

Editor: Y Gustaman
Tribun Medan/Abul Muamar
Hamsad Rangkuti terbaring di ruangan Rumah Sakit Sembiring, Delitua, Sabtu (25/6/2016). Cerpenis berusia 73 tahun ini menderita penyumbatan pembuluh darah di otak yang menyebabkan organ tubuhnya tak dapat berfungsi baik. 

Laporan Wartawan Tribun Medan, Abul Muamar

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Cerpenis Hamsad Rangkuti jatuh sakit, terbaring tak berdaya di ruang J-17 Rumah Sakit Sembiring, Delitua, Sumatera Utara, Sabtu (25/6/2016).

Kondisi tubuh Hamsad nampak sangat kurus. Mulutnya tak bisa bicara. Hamsad telah dirawat di rumah sakit sejak 13 Juni, mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak dan tekanan darah tinggi.

"Kami ke Medan tiga bulan yang lalu. Sebelum ini bapak masih bisa ngomong, masih bisa jalan-jalan. Disempatkannya ke Kisaran juga karena dia besar di sana," ujar istri Hamsad, Nur Hamsad Rangkuti, kepada Tribun Medan.

Hamsad mulai mengidapi berbagai jenis penyakit sejak enam tahun terakhir. Selama kurun itu ia tak lagi aktif menulis.

"Pada 2010 operasi pasang ring di penis. Pada 2012 mulai sakit jantung, operasi by pass jantung. Sekarang penyumbatan pembuluh darah di otak. Stroke ringan jadinya. Kata dokter ada penyumbatan. Kemarin masuk ICU selama delapan hari. Ini sudah bisa keluar," ujar ibu empat anak ini.

Berbagai pernghargaan kepenulisan Hamsad terima, di antaranya penulisan cerpen Kompas (2001), Khatulistiwa Literary Award (2003) untuk Bibir dalam Pispot, dan SEA Write Award (2008).

Satu cerpennya yang paling terkenal dan kontroversial adalah "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," berjejak pada pengalamannya menaiki kapal penyeberangan dari Bakauheni ke Merak.

Mantan pemimpin redaksi Majalah Horison ini lahir di Titi Kuning, Medan, Sumatera Utara, pada 7 Mei 1943, dengan nama Hasyim Rangkuti.

Ia banyak menghabiskan masa mudanya di Kisaran dan Tanjungbalai, bersama sahabatnya yang juga pengarang, Martin Aleida.

Menulis Tak Kenal Waktu

Cerita pendek pertama Hamsad, "Sebuah Nyanyian di Rambung Tua", ditulisnya saat ia masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959.

Diam-diam temannya 'mencuri' cerpen tersebut lantas dikirimkan ke sebuah surat kabar di Medan dan terbit. Cerpen tersebut lalu diikutsertakan dalam lomba cerpen di Medan hingga menang.

"Abang (suami) enggak tahu siapa yang mengambil. Tahu-tahu sudah terbit di Medan. Diikutkan dalam lomba, menang pula," cerita Nur.

Perempuan bernama asli Nur Winda Sari ini menuturkan, selama hidupnya, Hamsad menulis tanpa mengenal waktu. Sekali waktu, saking larutnya berimajinasi usai menulis, tanpa sadar Hamsad mengguyurkan air panas untuk mandi.

"Saya siapkan air panas untuk dia mandi. Dia pikir udah dicampur air dingin. Diguyurnya saja langsung. Itulah dia kalau sudah asyik berkhayal. Makan pun enggak dipikirkannya lagi. Tengah malam orang sudah pada tidur, dia masih nulis. Kadang terpaksa saya suapin dia sambil menulis," kata dia.

Menjadi istri dari seorang pengarang yang penghasilannya tak pasti, Nur mengakui awal kehidupan rumah tangganya dengan Hamsad sangat memprihatinkan.

Berbekal ketabahan dan cintanya yang besar, perlahan kesusahan ekonomi itu berakhir.

"Mengalir saja kayak air. Kami malah sudah jalan-jalan ke luar negeri. Sudah 13 negara kami kunjungi. Ke Manchester pun pernah," ingat Nur.

Sayangnya, bakat menulis Hamsad tak menurun kepada anak-anaknya. Dari empat anaknya, tak satupun terjun di dunia sastra.

"Begitulah, anak pertama saya sempat menulis, tapi berhenti. Dia enggak pede. Dia takut tidak lebih hebat dari bapaknya. Yah, mudah-mudahan cucunya nanti ada yang meneruskan," Nur berharap.

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved