Rabu, 1 Oktober 2025

Kontroversi Gafatar

Doni Bingung Eks Gafatar Disebut Eksklusif

Dari tempat asalnya di Bantul, DIY, Doni beserta istrinya, Fitri (25) serta satu putranya, Andromeda (3 bulan), berniat mengadu nasib ke tanah Borneo.

Editor: Dewi Agustina
TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI
Satu diantara ratusan pengungsi eks Gafatar asal Mempawah terbaring sakit bersama anaknya saat menunggu pembagian makan dan lokasi tidur di Bekangdam XII/Tpr, Jl Adisucipto, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (19/1/2016) pukul 19.30 WIB. Arus pengungsian 664 warga ini terbagi dalam dua gelombang, pertama datang sejumlah 327 orang dari Moton Panjang dan sisanya 337 pada gelombang kedua dari Desa Pasir, Kabupaten Mempawah. TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI 

TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Tangis Andromeda (3 bulan), pecah tatkala gemuruh hujan deras menerpa atap tenda yang beberapa menit sebelumnya terbakar terik matahari.

Hujan yang mengguyur tempat penampungan sementara bagi 1.119 warga eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tersebut merembes hingga dinding tenda.

Anak-anak dan wanita yang awalnya berbaring dibawah tenda kini harus berdiri atau agak merapat ke tengah.

Velbed (tempat tidur lapangan yang biasa digunakan prajurit) harus dimiringkan atau bahkan ditimpakan ke vedbed lainnya agar air hujan yang menetes dan merembes, tak membasahi tempat tidur itu.

"Supaya bisa digunakan buat anak saya tidur nanti malam," ungkap Doni (30), satu di antara pengungsi warga eks Gafatar dari Kabupaten Mempawah, usai berbincang dengan Pangdam XII/ Tanjungpura, Mayjen TNI Agung Risdhianto, Rabu (20/1/2016).

Doni merupakan warga pendatang di Mempawah sejak sebulan lalu.

Dari tempat asalnya di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Doni beserta istrinya, Fitri (25) serta satu putranya, Andromeda (3 bulan), berniat mengadu nasib ke tanah Borneo.

Istrinya tampak memindahkan Andromeda yang terus menangis di gendongannya, tatkala hujan semakin deras.

Hanya sekitar lima vedbed yang tetap pada posisinya, sebagai tempat duduk, demi mengindari rembesan air yang mulai menggenangi tanah.

Doni tercatat sebagai satu di antara 1.119 pengungsi dari Mempawah yang dievakuasi ke Bekangdam XII/ Tanjungpura, pada Selasa malam.

Hingga Rabu, mereka belum mendapatkan kepastian kapan akan dipulangkan ke tempat asal masing-masing.

Sembari memegang selimut ungu yang baru dibagikan petugas, Doni terlihat mencemaskan kondisi Anromeda. Namun ia menyempatkan berkisah perjalanannya hingga sampai di Mempawah.

"Saya dan keluarga datang Jumat (25/12/2015), langsung menuju tempat (pos) penerimaan dulu. Di situ kami kumpul, temu kangen dengan teman," katanya.

Doni tak menduga harus mengalami situasi yang menyedihkan saat berupaya mencari jalan hidup lebih baik.

Ia mengatakan berangkat ke Kalimantan Barat tidak ada yang mengajak. Hanya sebuah tawaran yang tidak disertai paksaan.

"Kok ngajak-ngajak, kita nggak pernah ngajak. Kami cuma nawarin, mau nggak. Kalau mau ya ayo, nggak ya silakan. Kan kembali kepada pribadi masing-masing, jadi nggak ada paksaan," tegasnya.

Napak Tilas
Dikisahkannya, setelah bertemu dengan teman lama, pagi harinya rombongan langsung berangkat menuju lahan yang akan dijadikan permukiman dan garapan. Menurutnya ceritanya, kedatangannya di Mempawah dapat disebut napak tilas masa kecilnya.

Saat ia masih berusia tiga bulan, kedua orangtuanya membawanya ke Mempawah. Karena saat itu ayahnya bekerja di sebuah perusahaan yang mengerjakan konstruksi bangunan dan jalan di Mempawah.

"Saya dulu masih usia tiga bulan dibawa orangtua ke Mempawah sekitar 1986. Ya semacam napak tilas lah. Saya sudah pernah hidup di Mempawah, ada kenangan," kenangnya.

Saat menginjakkan kakinya kembali ke Mempawah, ia berharap Andromeda dapat tumbuh besar di kota itu.

"Saat itu di Mempawah masih ada bioskop. Saya tinggal dekat Jl Bawal, pokoknya ada namanya jembatan Mempawah yang pertama dibangun, bentuknya kayak Jembatan Kapuas," paparnya.

Bersama keluarga Galih (27) dan Acep (38), pria lulusan S1 Pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo, Yogyakarta, tersebut berangkat menuju Desa Pasir di Mempawah.

Acep sebelum ke Mempawah bekerja sebagai cleaning service di kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ia tak menyangka, kini Gafatar akan menjadi kisah kelam hidupnya.

"Padahal dulu (di Yogya) kami sering ada aksi sosial. Kami pernah ada niat, kalau panen bagi hasil dua per tiga bagi warga kampung di sekitar. Agar warga merasakan manfaat hasilnya seperti itu," ungkap Acep disela-sela perbincangan.

Doni menegaskan koordinator pertaniannya sudah bersosialisasi dengan RT dan RW serta sejumlah tokoh masyarakat sekitar.

"Kami bahkan pernah makan bersama," jelas Doni.

Menurut Doni, tidak benar jika selama ini ada yang mengabarkan kehidupan mereka bersifat eksklusif.

Bahkan menurutnya, warga sekitar saja bingung pada isu kehadiran mereka meresahkan masyarakat sekitar.

"Ada isu begitu kami juga kaget, nggak ada (eksklusif). Jadi di sana itu ada pemilik keramba, Pak Dul itu bingung, dia mengatakan kok bisa ada yang (menyebut) warga di sini menolak. Dia malah tidak tahu," tegasnya.

Keanehan lain juga diungkapkan rekannya, Galih, yang sebelumnya bekerja sebagai penjual lotek di Bantul.

Ia mengungkapkan, saat berada di permukiman ia ikut terlibat ronda bersama warga setempat.

"Bergaul, ikut ronda. Jadi saling kenal, kami ronda bareng sama anak-anak kampung sekitar. Jadi tahu, anak-anak juga cerita yang sama, kami selaraskan, oh ternyata memang ada yang aneh," ungkapnya. (tribunpontianak/ram)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved