Ujian Nasional 2012
Setelah UN, Asep Ganti Baju Jadi Kuli Bangunan
DI ANTARA para peserta ujian nasional (UN) tingkat SMP/MTs di Kota Bandung, ada pemandangan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Fatimah
TRIBUNNEWS.COM - Di antara para peserta ujian nasional (UN) tingkat SMP/MTs di Kota Bandung, ada pemandangan unik di SMAN 14, Jalan Yudhawastu Pramuka. Ada sekitar 179 siswa SMP terbuka yang harus mengikuti UN di sekolah tersebut. Mereka sebagian dijemput dengan angkutan kota saat berangkat dan pulang ujian. Kendaraan antar- jemput ini memang disediakan oleh SMPN 27 sebagai salah satu sekolah induk SMP terbuka untuk memperingan biaya transportasi siswa.
Asep Supriyono (16) adalah salah seorang siswa yang ikut dalam mobil antar- jemput. Ia siswa SMP terbuka yang menginduk ke SMPN 27 Bandung. Siswa kelas 3 warga Jalan Babakan Sari RT 04/03, Kiaracondong, ini ikut dalam Tempat Kegiatan Belajar (TKB) Suka Senang. Setiap hari ia "bersekolah" di TKB itu sesuai dengan jam yang juga "disesuaikan" dengan siswanya.
Pada saat ujian sekolah atau UN, ia memang diantar-jemput. Selain lokasinya jauh dari tempat tinggalnya, ia juga cukup berat bila harus mengeluarkan biaya untuk transportasi.
Asep lahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya hanyalah tukang becak dan sudah meninggal. Ani, sang ibu, sehari-hari menjadi pembantu rumah tangga. Anak kedua dari empat bersaudara ini bahkan harus bekerja pula untuk membantu ibunya dalam memenuhi kebutuhan biaya hidup sehari-hari.
"Saya sekolah sambil kerja. Jadi kuli bangunan yang dekat-dekat rumah. Uangnya saya kasih Mamah semua, buat bantu Mamah. Ada adik dua juga. Kasihan kalau Mamah kerja sendiri," kata siswa kelahiran 6 Mei 1996 ini saat ditemui seusai UN, Selasa (24/4/2012).
Sebagai buruh bangunan, siswa berpostur tinggi ini mendapat gaji Rp 70 ribu untuk beberapa jam. Waktu bekerja disesuaikan dengan jadwal "sekolahnya" di TKB. Bila tidak ada ujian, setiap hari ia ke TKB pukul 06.30 sampai pukul 11.00. Setelah itu, ia langsung menuju tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan.
Kalau sedang mengikuti ujian, ia akan bekerja siang seusai ujian. Begitulah kehidupannya sehari-hari. Tidak banyak waktunya untuk bermain sebagaimana layaknya anak SMP. Terlebih saat ujian seperti UN, bila badannya tidak capai setelah kerja, ia akan belajar malam hari. Tapi bila badan lelah, ia akan belajar pada subuh hari sebelum UN.
"Belajar sesempatnya saja, kadang malam, kadang subuh," ujar siswa yang punya hobi bermain sepak bola ini.
Ia juga mengaku sekolah karena disuruh oleh orang tuanya, minimal bisa lulus SMP. Karena itu, kata dia, setelah lulus SMP ia enggan melanjutkan ke tingkat SMA atau SMK. Ia mengaku tidak konsentrasi kalau harus membagi waktu antara belajar dan bekerja. Ia memilih akan bekerja setelah lulus SMP.
Namun ia tidak menolak bila ada sekolah sepak bola yang mau menerimanya sebagai siswa. Ia tidak memiliki cita-cita lain selain menjadi pemain bola. Tapi ia sadar kalau menjadi pemain bola profesional juga tidak sembarangan dan harus ikut sekolah sepak bola dulu.
"Pengen banget jadi pemain bola, soalnya saya senang banget bola, terutama jadi kiper. Pernah juara dua waktu SD. Kalau bisa masuk sekolah bola, saya mau," harapnya.
Permasalahan antara sekolah dan membantu keluarga juga dialami Taryuda (16), siswa TKB Randu Sari. Ia hanyalah anak seorang buruh. Setiap hari ia harus membantu ayahnya mencari rumput untuk kambing yang dipelihara ayahnya.
Meski tidak bekerja, ia mengaku mencari rumput dan angon kambing harus dilakukannya setiap hari. "Nggak banyak kambingnya. Punya Bapak," kata anak bungsu dari empat saudara ini.
Ia juga belajar di TKB setiap hari mulai pukul 06.30 sampai 11.00. Di TKB banyak juga rekannya yang kurang mampu dan terpaksa bekerja dan ada yang menjadi pengamen di jalanan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya jarang masuk sekolah dan keluar alias tidak pernah sekolah lagi.
Menurut Taryuda, kebanyakan karena memilih cari uang daripada sekolah. Ia sendiri mengaku senang bisa sekolah di TKB. Selain tidak perlu bayar SPP, seragam, tas, buku, hingga sepatu dikasih oleh SMP induk. Bahkan setiap hari ia juga diantar-jemput dari rumah ke TKB yang jaraknya memang jauh dari rumahnya. Rencananya, ia ingin bisa melanjutkan ke tingkat SMK.
"Pengen sih lanjut ke SMK. Saya pengen jadi administrasi. Tapi sama seperti ini (sekolah terbuka dan gratis)," katanya.
Pengalaman Ririn Hendriyani (15), siswa asal Cicadas, agak berbeda. Ia memang tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah. Namun setiap hari ia harus menjaga adik-adiknya dan beres-beres rumah karena ibu dan bapaknya harus bekerja berdagang. Ia ikut sekolah di TKB mulai pukul 12.30 sampai pukul 5 sore. Sebelum sekolah, ia harus di rumah mengganti peran ibunya yang bekerja untuk mencari uang.
"Bapak sama Ibu dagang apa saja yang bisa dijual. Seringnya jualan balon," kata siswi yang ingin bisa sekolah di SMAN 10 ini.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Oji Mahroji, terdapat 570 siswa yang belajar di lima TKB yang menginduk pada SMP, yakni SMP 12, 36, 40, 27, 8, dan SMP 51. Sekolah terbuka ini diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu.
"Anak-anak tersebut kebetulan tidak bisa mengikuti umumnya sekolah reguler. Mereka juga belajar disesuaikan berdasarkan kesepakatan. Semua dibantu oleh SMP induk seperti seragam. Mereka memang harus didukung untuk bisa terus sekolah," katanya saat ditemui di sela-sela pantauan UN di SMPN 27 kemarin.
Menurut Kepala Sekolah SMPN 27, Sudarto MPd, para pengajar di TKB adalah guru pamong dan guru bina. Guru pamong bisa berasal dari masyarakat sekitar atau guru relawan. Adapun guru bina adalah guru yang berasal dari SMP induk. Bila TKB tersebut SMP induknya SNP 27, guru binanya adalah guru SMP 27. Jumlah guru berdasarkan mata pelajaran, yakni dua belas orang.
Di SMP 27 sendiri, paling banyak adalah siswa dari TKB Randusari yang kebanyakan anak jalanan. Untuk sekolah, tidak sedikit dari mereka yang harus dijemput agar mau ke sekolah.
"Tiap pagi kami siapkan armada motor dan mobil. Mereka dijemput dari TKB. Pulang diantar lagi. Harus seperti itu agar mereka bisa tetap sekolah," katanya seraya menyebutkan peserta UN dari SMP terbuka yang menginduk ke SMP 27 sebanyak 179 siswa.