Minggu, 5 Oktober 2025

Merapi Meletus

Rokok Kretek dan Bergelas Kopi Hitam

Amukan dahsyat gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010 hingga hari-hari ini masih menyisakan seribu satu kisah

Editor: Tjatur Wisanggeni
zoom-inlihat foto Rokok Kretek dan Bergelas Kopi Hitam
tribunjabar
Surono, kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Laporan Wartawan Tribun Jogja, A Rozak, DH Sanjoyo, Willem, SK Sumargo

TRIBUNNEWS.COM -- Amukan dahsyat gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010 hingga hari-hari ini masih menyisakan seribu satu kisah. Seperti keping mata uang, selalu ada cerita suka ada duka, ada kisah senang juga yang menyusahkan.

Kejutan juga terjadi ketika erupsi Merapi kali ini menghasilkan ledakan hebat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah modern bangsa ini. Di balik kedahsyatan alam ini, muncul orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, bertaruh nyawa, dan berjibaku dalam kesunyian.

"Jangan tanya kepada saya kapan letusan Merapi berakhir? Seberapa besar? Arahnya ke mana? Yang bikin skenario Merapi. Sutradaranya dia sendiri, pelakunya dia juga. Jadi suka-suka dia sendiri!"

Ucapan itu diulang-ulang Dr Surono menjawab serangkaian pertanyaan yang dilontarkan kepadanya oleh awak media perihal serangkaian erupsi dahsyat gunung di perbatasan DIY-Jateng itu sejak 26 Oktober 2010.

Tribun mendengar langsung ucapan "kuncen" gunung-gunung berapi di Indonesia itu pada Sabtu, 30 Oktober 2010. Ketika itu Surono berada di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Jalan Cendana, beberapa jam setelah Merapi menyemburkan awan panas sejauh 12 kilometer ke arah Kali Gendol di sektor selatan.

Ketika itu ribuan penduduk di Kecamatan Cangkringan, relawan, anggota TNI/Polri dan SAR, kabur menyelamatkan diri ketika dari arah lereng terdengar gemuruh mengerikan saat hujan abu dan pasir mengguyur belasan desa dan dusun desa.

Muji (42), warga Gondang, Umbulharjo, Cangkringan melukiskan detik-detik petaka itu seperti mendengar ribuan biji batu kali digerojokkan dari bak dump truck secara serentak. Sedang Gunadi (38), juga warga Gondang, melarikan diri seperti dikejar suara ribuan truk.

Mbah Rono, demikian panggilan baru doktor di bidang gunung api lulusan Prancis itu memang jadi tokoh di tengah pusaran amukan Merapi. Dia lah yang jadi eksekutor kapan memutuskan status aktivitas Merapi, kapan memperluas radius bahaya, dan kapan menarik kembali keputusannya.

Rekomendasi yang diputuskan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM ini jadi rujukan semua pihak. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengakui, ia patuh pada apa yang diputuskan Mbah Rono.

Popularitasnya mengalahkan Dr Sukhyar, bosnya di Badan Geologi Kementerian ESDM. Mbah Rono sudah hampir tiga minggu berada di Kota Jogja. Ia tiba di Kota Gudeg ini 21 Oktober 2010, sehari sebelum pembukaan Volcano Expo 2010 di BPPTK Yogyakarta.

Sejak itu ia belum pernah sehari pun pulang ke rumahnya di Bandung. Mbah Rono hampir ambruk kepayahan, dan dipaksa beristirahat total di tempat menginapnya, sebuah hotel berbintang di Malioboro. Fisiknya pulih setelah obat mujarabnya, sang istri, datang berkunjung.

"Anda simpan energi, karena kali ini Merapi mengajak kita maraton!" kata Mbah Rono, lagi-lagi kepada jurnalis yang saban hari nongkrong di kantor BPPTK Yogyakarta. Pria kelahiran 8 Juli 1955 ini rupanya telah merasakan efek maraton seperti yang pernah dia ucapkan.

Namun ahli geofisika yang kini jadi "selebriti" di layar kaca, khususnya terkait bencana Merapi, tetap pribadi yang menarik, segar dan humoris di tengah suasana apapun. Meski kelopak matanya sering terlihat membengkak akibat kurang tidur, Mbah Rono tetap sigap melayani siapapun.

Ia juga tak pernah menanggalkan ciri khasnya, sebatang rokok kretek Dji Sam Soe selalu terselip di jemarinya. Satu lagi, segelas kopi hitam tak pernah jauh dari meja kerjanya. Dua benda itu seolah jadi sumber kekuatan yang tak pernah habis bagi Mbah Rono.

"Fisiknya sangat kuat. Kalau mendampingi Pak Surono harus siap nggak tidur-tidur," kata Sarjono, pegawai BPPTK Yogyakarta yang kerap jadi sopir pakar lulusan Teknik Fisika ITB 1982 dan Doktor (S3) dari Universite Joseph Furier, Gronable, Prancis itu. "Kalau nonstop, bisa delapan gelas minuman kopi hitam dihabiskan dalam sehari," imbuh Jono.

Ketika letusan super dahsyat tanggal 4-5 November 2010, sepanjang malam hingga hari terang, Mbah Rono tak pernah memejamkan mata sedetikpun. Menjelang tengah malam, ia membuat keputusan genting dan krusial karena akan mengubah peta radius bahaya primer Merapi.

Surono sendiri yang memutuskan perluasan radius bahaya dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer. Ia mengangkat mikropon radio komunikasi di ruang operasi pemantauan Merapi di BPPTK Yogyakarta, dan mengumandangkan pengumuman maha penting itu.

Suara lelaki asal Cilacap, Jateng itu bisa didengar siapapun lewat radio komunikasi di frekuensi BPPTK Yogyakarta. Lantang, tenang, dan menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi karena keputusannya akan menentukan nasib dan keselamatan ribuan nyawa manusia di lereng-lereng Merapi.  

Gambaran kesibukan Mbah Rono terekam jelas saat setengah hari penuh wartawan Tribun mengikuti jejak aktivitasnya di kantor BPPTK Yogyakarta, Sabtu (13/11/2010). Kewibawaannya juga terlihat ketika ia masuk operation room Merapi, yang dipasangi semua peranti dari pencatat seismograf, CCTV, dan sinyal telemetri dari seismograf yang dipasang di lereng gunung.

Semua orang dan staf BPPTK Yogyakarta terdiam ketika Mbah Rono masuk. "Wah, clear ya," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Ekspresi senang tampak jelas di wajahnya saat melihat video CCTV situasi di puncak Merapi. CCTV itu terpasang di kawasan Deles, Klaten, lereng timur gunung.  

Hari itu Mbah Rono agak kesiangan tiba di kantor BPPTK Yogyakarta, karena lebih dulu bertemu dan berdiskusi dengan pakar vulkanologi dari Jepang. Tiba pukul 13.03 WIB, Mbah Rono terlihat gagah dengan kemeja putih  lengan panjang bergaris biru, dipadukan celana biru tua. Saat masuk operation room, Mbah Rono langsung memperhatikan alat pencatat seismograf yang bergerak pelan. Ia sempat diam terpaku sambil mengernyitkan dahi. Tak seorang pun tahu apa yang terpikir di benaknya.

"Terus pantau ya!" pintanya kepada operator seismograf sembari meninggalkan ruangan. Siang itu di meja kerja sementara Mbah Rono, langsung tersedia kopi  hitam panas, setumpuk berkas dan koran-koran pagi.

Beberapa rombongan tamu sudah menantinya. Ada dari BP Migas, Litbang Departemen Pertanian, dan beberapa pakar UGM. Agenda lainnya sudah menanti. Mbah Rono mesti melayani peneliti gunung asal Belgia yang tengah membuat film dokumenter tentang Merapi.

Saat berdiskusi, Mbah Rono tampak fasih bercakap dalam bahasa Prancis. Setelah selesai, Mbah Rono kembali mendatangi operation room. "Kalau abu vulkaniknya kayak gini pasti membawa material nih" kata Mbah Rono sembari menunjuk ke monitor CCTV.  

Selepas kumandang adzan Magrib, Mbah Rono masih sibuk hilir mudik dari ruang satu ke ruang yang lainnya. "Sibuk Pak?" tanya seorang jurnalis televisi yang mencoba mencegatnya. Mbah Rono hanya tersenyum seraya mengacungkan jari jempolnya.(*)[removed]var geo_Partner = 'c4d7df52-5b34-4483-9180-d547a4bba986'; var geo_isCG = true;[removed][removed][removed]

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved