Ramadan 2025
Mengenal Malam Selikuran Keraton Kasunanan Surakarta, Tradisi Sambut Lailatul Qodar Malam 21 Ramadan
Mengenal tradisi Malam Selikuran Ramadhan dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk menyambut datangnya Lailatul Qadar, ini makna bagi masyarakat Jawa.
Penulis:
Muhammad Alvian Fakka
Editor:
Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Mengenal tradisi Malam Selikuran Ramadan dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk menyambut datangnya Lailatul Qadar.
Hari ini, Kamis (20/3/2025) merupakan hari ke-20 Ramadan 2025 atau malam 21 Ramadan.
Pada malam 21 Ramadan, ada tradisi unik yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta dalam rangka menyambut malam Lailatul Qadar, yakni 'Malam Selikuran'.
Mengingat malam Lailatul Qadar adalah momen yang sangat dinantikan oleh umat Islam saat berpuasa di bulan Ramadan.
Lailatul Qadar juga disebut istimewa lebih mulia dari seribu bulan, yang jatuh pada malam-malam ganjil di 20 hari terakhir bulan Ramadan.
Lantas, bagaimana sejarah tradisi Malam Selikuran berkembang di Keraton Kasunanan Surakarta?
Sejarah Malam Selikuran Keraton Kasunanan Surakarta
Dilansir dari laman resmi Pemkot Surakarta, tradisi Malam Selikuran digelar pada 20 Ramadan atau malam 21 Ramadan setiap tahunnya.
Tradisi Malam Selikuran Ramadan pertama kali dikembangkan oleh Sultan Agung.
Namun dalam perjalanannya sempat mengalami pasang surut.
Kemudian pada masa pemerintahan Pakubuwana IX, tradisi Malam Selikuran kembali dihidupkan dan mengalami puncaknya di masa Pakubuwana X.
Saat itu untuk memperingati Malam Selikuran Ramadan dilakukan dengan melakukan kirab dan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting atau pelita dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta.
Lampu ting menjadi simbol dari obor yang dibawa para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu Lailatul Qodar di Jabal Nur.
Baca juga: Ramadan di Rusia: Antara Tradisi dan Tantangan Cuaca
Dalam Malam Selikuran, nasi tumpeng yang dibawa abdi dalem berjumlah seribu.
Jumlah tersebut melambangkan pahala setara seribu bulan.
Berisi nasi gurih yang dibentuk tumpeng kecil dan dilengkapi dengan kedelai hitam, rambak, mentimun, dan cabai hijau lalu dimasukkan ke dalam wadah dari besi dan kuningan.
Kemudian nasi tumpeng yang diarak-arak oleh para abdi dalem ini didoakan oleh pemuka agama.
Selepas prosesi tersebut, rombongan menuju titik terakhir di Taman Sriwedari.
Rombongan diawali dengan iringan prajurit drum band dilanjutkan dengan prajurit semut abang, semut ireng lalu kerabat Keraton dan ditutup dengan rombongan abdi dalem dengan membawa lampion bertuliskan lafadz Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Serta menyunggi ancak cantaka sebagai wadah 1000 nasi tumpeng.
Suara gamelan dengan lantunan salawat dengan diiringi rebana turut memeriahkan rombongan kirab Malam Selikuran.
Kirab biasanya dimulai pukul 20.00 WIB setelah sholat Tarawih yang dimulai dari Keraton Surakarta menuju Joglo Sriwedari dengan menempuh jarak tiga kilometer.
Di Taman Sriwedari, tumpeng diserahkan kepada alim ulama untuk didoakan, setelah didoakan nasi tumpeng tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Hingga saat ini, tradisi Malam Selikuran masih dilakukan.
Makna Malam Selikuran Ramadan Bagi Masyarakat Jawa
Malam Selikuran (21 Ramadan) menurut masyarakat jawa memiliki makna yang spesial.
Tradisi Malam Selikuran menjadi tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat dengan makna.
Pada umunya masyarakat Jawa memperingati Malam Selikuran dengan berbagai ragam tradisi.
Tentunya hal ini sangat istimewa, karena kita dapat melihat banyak nilai-nilai positif yang ada dalam peringatan Malam Selikuran tersebut.
Dalam ajaran Islam pada malam Lailatul Qodar Rasulullah Saw memulai beri’tikaf.
I’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadan.
Namun, lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.