Ramadan 2013
Sembahyang di Mall
Mall-mall megah pusat perbelanjaan itu juga menyediakan musholla yang bersih dan nyaman untuk salat yang selalu ramai setiap waktu salat tiba.
Oleh Komaruddin Hidayat
Gurubesar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
COBA datang ke pusat perbelanjaan besar menjelang maghrib, seperti Pondok Indah Mall (PIM) Jakarta, misalnya. Anda akan melihat puluhan kafe dan restoran sudah penuh pengunjung untuk menunggu waktu iftar. Kafe dan restoran itupun menyediakan minum dan kolak gratis untuk membatalkan puasa. Pendeknya, sangat dirasakan suasana Ramadan di pusat belanja yang elit itu.
Lebih dari itu, mall-mall megah pusat perbelanjaan itu juga menyediakan musholla yang bersih dan nyaman untuk salat yang selalu ramai setiap waktu salat tiba. Tempat wudunya bersih, nyaman, dan ruang sembahyangnya juga cukup luas meskipun jamaah bergantian. Bahkan yang cukup menarik, di situ terdapat petugas titipan sandal atau sepatu yang menolak jika diberi uang tip. Karena memang dilarang oleh manajemen mall.
Ketersediaan musholla yang bersih dan nyaman membuat pengunjung menjadi tenang berlama-lama di mall karena tidak direpotkan untuk mencari tempat sembahyang ketika waktunya tiba.
Di beberapa mall di Jakarta saya selalu melihat anak-anak muda potongan gaul, baik laki-laki maupun perempuan, yang antri untuk sembahyang. Juga ibu-ibu muda bersama anaknya ikut meramaikan musholla mall. Kalau saja tidak berjumpa di situ, mungkin sekali tidak menyangka mereka itu rajin menjaga salatnya mengingat gaya berpakaiannya funky, tidak mengenakan jilbab.
Yang juga membuat saya kagum, pernah saya berjumpa aktivis perempuan yang salah satu kegiatannya adalah memperhatikan kebersihan mukena di mall-mall; yaitu pakaian salat bagi perempuan. Mereka secara suka rela mencuci mukena secara berkala, serta meyediakan gantinya ketika mukena itu dicuci.
Mereka tidak memungut bayaran, bahkan membantu secara suka rela baik tenaga maupun dana. Alasannya, untuk melayani orang beribadah di mall agar merasa nyaman dan menjaga musholla itu agar tidak kumuh, jorok. Tentu saja pihak manajemen mall merasa terbantu.
Meski memakan ruang, saya yakin kalau setiap mall ada musholla yang bagus pasti akan menarik lebih banyak pengunjung dan memperoleh simpati dari masyarakat. Lebih bagus lagi kalau mall-mall besar itu juga disertai fasilitas umum untuk pendidikan, misalnya lapangan basket dan ruang seminar, maka citra sebuah mall tidak semata tempat shopping yang konsumsitf-hedonistik melainkan ada unsur pendidikan, keagamaan, dan budaya.
Saya sendiri sering kecewa ketika datang ke mall atau hotel memperoleh kesulitan menemukan musholla yang bagus. Kalau pun ada tempatnya sulit dijangkau. Belum lagi kondisinya yang kotor serta panas. Tentu saja tidak nyaman untuk beribadah sambil melepas penat. Sekarang ini orang pergi berbelanja dan memilih mall tidak saja mempertimbangkan tempat parkirnya yang mudah, tetapi juga fasilitas mushollanya yang bersih dan nyaman.
Ada pengalaman unik dan cukup mengesankan ketika suatu sore saya makan di restoran Jepang di PIM Jakarta. Di sebelah meja saya ada pasangan keluarga muda dengan dua anak yang masih kecil-kecil, usianya sekitar lima dan enam tahun. Ayah-ibunya berdandan layaknya anak gaul, ibunya pakai kaos dan jean. Apa yang menarik? Sementara menunggu makanan terhidang, ibu muda yang kelihatan funky tadi mengajari anak-anaknya menghafal surat pendek Alquran. Kedua anaknya lalu mengikutinya dengan gembira dan lancar.
Pengalaman lain masih serupa tetapi beda konteks. Dalam kesempatan masuk restoran yang juga di PIM Jakarta, saya ketemu beberapa ibu mengenakan jilbab. Mereka baru saja selesai mengikuti pengajian, lalu diteruskan makan siang dan arisan di restoran.
Dua cerita ini setidaknya menyampaikan satu pesan, agar tempat-tempat belanja itu dilengkapi fasilitas tempat salat yang bagus sehingga pengunjung menjadi nyaman. Bagi mereka kebutuhan salat itu paralel dengan kebutuhan makan-minum ataupun belanja di mall.
Apakah ini menunjukkan gaya hidup konsumtif? Itu relatif dan subyektif jawabannya. Mahal atau murah itu tergantung pembelinya dan barangnya. Banyak juga orangtua dan anak-anaknya ke mall dengan tujuan utama ke toko buku karena anak-anaknya merasa antusias melihat-lihat dan membaca buku di ruang ber-AC dengan pilihan yang sangat banyak. Belum lagi interior dan lagu-lagu religious yang ikut menyemarakkan suasana Ramadan, membuat anak-anak serasa rekreasi.
Demikianlah, kegiatan ekonomi, hiburan dan keagamaan di Indonesia saling terkait. Itu semua terlihat terutama dalam acara televisi maupun di mall serta hotel-hotel.
Selama bulan Ramadan pihak televisi menerima keuntungan iklan paling banyak yang dikaitkan dengan mimbar agama dan hiburan. Begitupun perusahaan maskapai penerbangan Garuda, keuntungan terbesar dan paling stabil adalah dari angkutan jamaah haji serta umrah. Belum lagi kita bahas mudik lebaran yang juga mendatangkan dampak keuntungan ekonomi bagi pengusaha transportasi. (*)