Ramadan 2013
Menggapai Puasa yang Utama
IMAM Abu Hamid al-Ghazali dalam karya monomentalnya, kitab Ihya 'Ulumudin, mengemukakan derajat orang yang melaksanakan ibadah puasa.
Oleh HM Cholil Nafis Lc PhD
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU/
Sekretaris Pengkajian MUI
IMAM Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 Hijriah/1111 Masehi) dalam karya monomentalnya, kitab Ihya 'Ulumudin, mengemukakan derajat orang yang melaksanakan ibadah puasa. Menurutnya, ada tiga tingkatan orang berpuasa, yaitu puasa al-'umum (standar), puasa al-khusus (istimewa), dan puasa khusus al-khusus (sangat istimewa).
Puasa al-umum adalah puasa yang dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun puasa saja, yaitu mencegah diri dari makan, minum, dan seks sejak terbit fajar (Subuh) sampai terbenam matahari (Magrib). Pelaksanaan ibadah puasa al-'umum tidak lebih dari sekadar puasa secara fisik dan hanya memenuhi ketentuan fikih, tanpa ada kebaikan lain yang menjadi penyempurna puasa.
Puasa al-khusus adalah puasa al-umum yang dilengkapi dengan puasa pancaindra dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan mungkar. Ada lima hal yang harus dilakukan agar seseorang menggapai puasa al-khusus.
Pertama, puasa penglihatan, yaitu memelihara pandangan dari sesuatu yang diharamkan dan menyebabkan lalai untuk berzikir kepada Allah swt. Kedua, puasa ucapan, yaitu memelihara lisan dari berkata bohong, gosip, dan mengadu domba serta tidak henti-hentinya zikir kepada Allah swt dan senantiasa membaca Alquran Alkarim.
Ketiga, puasa pendengaran. Sesuatu yang haram diucapkan pasti haram untuk didengarkan. Tidak boleh seseorang berdiam diri terhadap kebohongan, fitnah dan adu domba yang didengar dari orang lain. Allah swt berfirman: "Mereka (orang orang Yahudi) itu adalah orang orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram." (QS al-Ma'idah 5:12 )
Keempat, memelihara semua organ tubuh dari perkara haram. Barang haram sekecil apa pun akan berdampak negatif, sedangkan makanan halal akan berdampak negatif jika terlalu banyak dikonsumsi.
Sungguh ironi jika seseorang berpuasa meninggalkan konsumsi barang halal di siang hari sementara berbukanya dengan barang haram. Puasa seperti tersebut bagaikan orang yang membangun gedung, tapi merobohkan istananya. Rasulullah saw bersabda: "Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapat apa pun dari puasanya kecuali ia merasakan lapar dan haus." (HR Muslim)
Kelima, terlalu banyak makan saat berbuka sehingga perutnya penuh kekenyangan dan sesak. Tidak ada sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah melebihi orang yang sangat penuh isi perutnya dengan makanan. Sungguh ironi, jika seseorang berpuasa di siang hari dengan mengosongkan perut guna melemahkan nafsu jahat yang ada pada manusia, tetapi saat berbuka ia makan secara berlebihan bahkan sampai terasa sesak kekenyangan.
Orang seperti ini tidak ada bedanya antara puasa dan tidak berpuasa karena hanya menunda waktu makan dari siang hari menjadi malam hari. Ironi, fenomena orang yang melakukan ibadah puasa Ramadan lalu menyediakan menu makanan yang tidak lumrah macam dan banyaknya dibanding sebelas bulan lainnya.
Di Indonesia setiap menjelang bulan Ramadan kebutuhan bahan pokok selalu meningkat sehingga menyebabkan harga-harga naik. Seyogianya, hadirnya bulan Ramadan yang mewajibkan umat muslim berpuasa sebulan lamanya dapat mengurangi kebutuhan konsumsi yang secara otomatis akan menurunkan harga karena suplai yang lebih dan permintaan berkurang. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Hal ini menunjukkan nilai-nilai spiritual puasa belum inheren dan menginternal dalam kesejatian umat muslim yang melakukan ibadah puasa.
Puasa khusus al-khusus adalah selain melakukan puasa umum dan khusus juga memelihara pikirannya dari hal negatif dan menjaga hatinya dari kepentingan duniawi demi selalu ingat dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Derajat puasa khusus al-khusus telah menempatkan puasa tidak sekadar mengikuti ketentuan fikih, tetapi telah menyertakan ihsan dalam segala tindakannya, yaitu selalu melihat Allah swt dalam segala geraknya atau merasa kehadiran-Nya dalam segala tindakannya.
Uraian tentang tingkatan puasa yang dipaparkan Imam Al-Ghazali tersebut dapat dijadikan barometer umat muslim dalam menggapai puasa yang utama. Puasa yang utama tidak sekadar menempatkan Allah swt, sebagai Zat Yang Mahakuasa dan Perkasa tetapi juga menempatkan Allah swt sebagai Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Melihat. (*)