Pilkada Serentak 2020
Ini 5 Paslon Pilkada Penerima Sumbangan Dana Kampanye Tertinggi: Tertinggi Rp 7,6 Miliar
Pada urutan pertama adalah paslon Munafri Arifuddin dan Abd Rahman Bando di Kota Makassar dengan total sumbangan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap lima paslon peserta Pilkada penerima sumbangan dana kampanye tertinggi baik dari perseorangan, partai politik, maupun pihak lain dari 30 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak tahun ini.
Pada urutan pertama adalah paslon Munafri Arifuddin dan Abd Rahman Bando di Kota Makassar dengan total sumbangan yang diterima sebesar Rp 7.665.000.000.
Kemudian urutan kedua adalah paslon Machfud Arifin dan Mujiaman di Kota Surabaya dengan nilai total sumbangan yang diterima sebesar Rp 7.250.000.000.
Baca juga: Menuju Pilkada Jateng 2020, Perhatikan Tata Cara Pemilih Mencoblos di TPS
Paslon pada urutan ketiga adalah paslon Ansar Ahmad dan Marlin Agustina di Provinsi Kepulauan Riau dengan nilai total sumbangan yang diterima sebesar Rp 4.300.000.000.
Kemudian peringkat keempat adalah paslon Sugianto Sabran dan Edy Pratowo dinKota Medan dengan total sumbangan yang diterima sebesar Rp 4.000.000.000.
Peringkat kelima adalah paslon Mahyeldi dan Audy Joinaldu di Provinsi Sumatera Barat dengan total sumbangan yang diterima Rp 3.940.000.000.
Data tersebut dipaparkan peneliti ICW Egi Primayogha berdasarkan hasil pemantauan ICW terhadap 30 daerah yang mencakup sembilan provinsi, 12 Kabupaten, dan sembilan kota.
Namun demikian Egi tidak menutup kemungkinan jika ada paslon peserta Pilkada dari 240 daerah lain yang menyelenggarakan Pilkada yang menerima sumbangan dana kampanye lebih tinggi dari yang dipaparkan.
Baca juga: Legislator PAN: Sukses Tidaknya Pilkada 2020 Ditentukan Dua Faktor Ini
Hal itu karena, kata Egi, ICW tidak memantau seluruh 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada karena keterbatasan waktu dan sumber daya.
Sehingga ICW hanya memantau beberapa daerah yang punya permasalahan dinasti, korupsi, dan berdasarkan keterwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia.
Data tersebut, kata Egi, dikompilasi ICW hanya dari halaman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Egi mengatakan ada dua jenis data yang dipantau ICW yakni Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
Dua data tersebut dipilih karena dua data tersebut diwajibkan hingga 30 Oktober 2020 dan data PPDK, baru akan disampaikan setelah kontestasi Pilkada usai.
Berdasarkan pasal 74 Undang-Undang (UU) Pilkada, kata Egi, sumber dana kampanye bisa dibagi ke dalam tiga kategori yakni sumbangan partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan pasangan calon, dan sumbangan pihak lain yang tidak mengikat misalnya sumbangan perseorangan atau sumbangan badan hukum swasta.
Dalam UU tersebut, kata Egi, juga tertera batas sumbangan perseorangan adalah Rp 75 juta rupiah dan badan hukum swasta Rp 750 juta.
Sejumlah sumber yang dilarang dalam UU Pilkada, kata Egi, antara lain dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing, warga negara asing atau penyumbang yang tidak jelas identitasnya.
Selain itu, kata dia, sumber dana juga dilarang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah atau APBN dan APBD, BUMN, BUMD, BUMDes atau sebutan lainnya.
Egi mengatakan sejumlah sanksi yang berkaitan dengan permasalahan dana kampanye setidaknya ada tiga.
Pertama, jika kandidat menerima atau memberi dana kampanye sebagaimana yang sudah diatur maka hukuman paling singkat yang bisa dijatuhkan 4 bulan penjara atau maksimal 24 bulan penjara dan dendanya juga ada mencapai Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Untuk jenis tindakan lainnya, kata Egi, jika kandidat menerima atau memberi dana kampanye dari dan kepada pihak terlarang juga dibe pidananta dan denda serupa dengan yang tadi.
Selain itu jika kandidat tidak memberikan keterangan yang benar dalam laporan dana kampanye, kandidat juga dapat diberikan sanksi pidana paling singkat 2 bulan dan paling lama 12 bulan atau denda paling sedikit Rp 1 juta rupiah dan paling banyak Rp 10 juta.
Berdasarkan data tersebut ICW merekomendasikan penguatan regulasi karena regulasi yang ada tidak mampu untuk memaksa para pasangan calon untuk melaporkan dana kampanye secara patuh dan jujur.
Selain itu pengawasan oleh Bawaslu harus diperkuat karena Bawaslu juga punya kewenangan untuk memeriksa kebenaran dan kejujuran laporan dana kampanye yang diberikan para kandidat.
"Karena laporan yang disampaikan oleh para kandidat atau mungkin yang diwajibkan oleh KPU juga tidak harus rinci, ini juga membuka ruang gelap. Karena itu rasanya perlu ada publikasi yang rinci mengenai laporan dana kampanye untuk membuka ruang gelap terdebut," kata Egi.
Selain itu ICW juga merekomendasikan audit perlu dilakukan secara detil dan hasilnya dibuka pada publik khususnya untuk mengetahui orang atau badan hukum swasta yang memberikan dana kampanye kepada para kandidat.
Terakhir, kata Egi, ICW merekomendasikan penguatan dari sisi etika juga penting mengingat calon, penyelenggara pemilu, atau voters harus benar-benar mempertimbangkan aspek etika.
"Apakah yang mereka lakukan dalam penyelanggaran pemilu atau pilkada pantas atau tidak. Apabila aspek etika ini terus diabaikan saya rasa sekuat apapun regulasi yang kita miliki tetap akan ada celah yang digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," kata Egi.