Selasa, 7 Oktober 2025

Pilkada Serentak 2020

Mendagri Sebut Pilkada Langsung Bisa Jadi Sebab Timbulnya Manipulasi Demokrasi hingga Akar Korupsi

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung bisa menimbulkan terjadinya manipulasi demokrasi.

Wartakota
Ilustrasi- Pilkada Serentak 2020 

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung bisa menimbulkan terjadinya manipulasi demokrasi.

Tak hanya itu, menurut Tito, Pilkada langsung juga bisa memicu terjadinya akar masalah korupsi di daerah.

Hal itu Hal itu diungkapkan Tito dalam webinar bertajuk Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah? Persiapan Pilkada Serentak 9 Desember 2020 yang diselenggarakan oleh Nagara Institute, Sabtu (20/6/2020).

Menurut Tito, manipulasi demokrasi bisa terjadi jika pemilihan langsung diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida.

Menteri dalam negeri (Mendagri), Tito Karnavian di Bogor, Senin (2/3/2020).
Menteri dalam negeri (Mendagri), Tito Karnavian di Bogor, Senin (2/3/2020). (Puspen Kemendagri)

Artinya, masyarakat yang masih sedekit high class, lalu midlle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar masyarakatnya adalah low class.

"Low class kita adalah mereka yang poorly educated secara pendidikan tidak memadai, kemudian secara kesejahteraan tidak memadai. Mereka belum memahami arti demokrasi," papar Tito, seperti dikutip Tribunnews.com dari siaran langsung di kanal Nagara Institute.

Akibatnya, lanjut Tito, demokrasi dapat dimanipulasi atau didekte oleh para pemegang kekuasaan, para pemegang modal yang memiliki banyak uang serta mereka yang bisa menggiring opini publik karena bisa mengendalikan media.

Baca: Pengawasan Pilkada 2020, Penerapan Protokol Covid-19 Hingga Antisipasi Kerumunan Massa

"Akibatnya yang terjadi adalah kita melihat di lapangan para pemilih-pemilih kita di daerah-daerah yang dipenuhi oleh low class kualitas pemimpin yang dipilih belum tentu sesuai dengan yang diharapkan."

"Karena memang masyarakatnya mudah dimanipulasi," ucap Tito.

Aspek negatif lain yang bisa ditimbulkan akibat pilkada langsung adalah terjadinya akar masalah korupsi di daerah.

Sebab, menurut Tito, seseorang yang ingin mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan pasti harus mengeluarkan banyak biaya.

"Paling tidak yang resmi-resmi saja biaya saksi kemudian juga biaya untuk tim sukses, biaya untuk kampanye."

"Belom lagi (mohon maaf) mungkin ada yang transaksional untuk mendapatkan perahu, katakanlah perahu partai," terangnya.

Baca: Ada Tambahan 456.256 Pemilih Baru di Pilkada Serentak Desember 2020

Bahkan, lanjut Tito, mungkin juga terjadi politik uang di tingkat bawah.

Tito menuturkan, untuk menjadi bupati saja dibutuhkan biaya yang besarnya sampai Rp 20-30 miliar, wali kota mungkin lebih dari itu, dan gubernur akan lebih tinggi lagi.

Selain itu, kata Tito, masyarakat Indonesia yang masih low class juga belum dewasa dakan berdemokrasi.

"Mungkin nggak begitu memahami, memilih pemimpin ini untuk apa," ujar Tito.

"Kita melihat bahwa karena perlu modal, pertanyaannya apakah calon kepala daerah itu betul-betul siap untuk mengabdi?"

"Untuk berkorban mengeluarkan segala biaya modal dll dan setelah terpilih betul-betul bebas dari korupsi, melupakan uang yang sudah keluar tadi?" terang Tito.

Baca: KPK Minta Masyarakat Melapor Jika Temukan Penyelewengan Bansos Untuk Kepentingan Pilkada

Tito lantas memberikan perhitungan kasar terkait pemasukan kepala daerah saat menjabat.

Jika pemasukan Rp 200 juta per bulan yang merupakan gaji dan bonus lainnya, maka jika nominal itu dikalikan satu tahun maka akan mendapatkan pemasukan Rp 2,4 miliar per tahun.

Selama lima tahun, kira-kira hanya Rp 12 miliar yang bisa masuk ke kantong kepala daerah.

"Sementara uang yang keluar Rp 20-30 miliar, apa mau untuk rugi?" terang Tito.

Hal itulah yang menurutnya berakibat pada terjadinya penyalahgunaan kewenangan saat kepala daerah berkuasa.

Baca: Launching Pilkada Serentak 2020, KPU Perkenalkan APD untuk Petugas Pemilu

Untuk itu, bukan hal yang mengherankan bagi Tito, jika ada kepala daerah yang tertangkap lantaran kasus korupsi.

"Jadi bagi saya bukan sesuatu yang mengherankan ketika ada kepala daerah yang kena OTT."

"Kemudian ditangkap karena korupsi dll, karena salah satu akarnya dia harus keluar modal," tegasnya.

Dampak Positif Pilkada Langsung

Mendagri Tito Karnavian menyebut dengan adanya pemilihan langsung kepala memberikan warna baru dalam demokrasi di Indonesia.

Tito mengatakan, kepala daerah memang dibutuhkan karena hal itu sudah menjadi amanat dari Konstitusi, yakni Undang-undang 1945.

Menurut Tito, lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah telah membuka jalan demokrasi.

Sebab, dengan lahirnya Undang-undang tersebut, pemilihan kepala daerah bisa dilakukan melalui pemilihan secara langsung.

Diketahui sebelumnya adanya Undang-undang tersebut, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Menurut Tito, ada empat dampak positif diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung.

Baca: Isu SARA Diprediksi Tak Akan Laku di Pilkada 2020

"Niatnya saya kira baik, yaitu spiritnya. Pertama sebagai indikator adanya demokrasi, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, rakyat memilih pemimpinnya secara langsung," ujar Tito, seperti dikutip dari siaran langsung di kanal Nagara Institute.

Kedua, menurut Tito, dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung bisa memberikan sistem cek and balance.

"Yaitu rakyat dapat memilih pemimpinanya yang kemudian dia dapat melakukan koreksi atau kritik kepada kepala daerah," jelas Tito.

Baca: Kemendagri: Pilkada Serentak 2020 Perlu Dikawal Meski Digelar di Tengah Pandemi

Dampak positif ketiga menurut Tito, adalah kepala daerah memiliki legitimasi yang kuat, karena dipilih langsung oleh rakyatnya.

Keempat, dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung akan memunculkan adanya calon perorangan yang tidak ada dalam sistem sebelumnya.

"Memang ada aspek positif yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin yang kalau melalui sistem pemilihan tertutup di DPRD mungkin tidak akan muncul."

"Yang terjadi adalah kader-kader, partai yang kemudian didominasi oleh partai-partai tertentu dan kemudian pemimpinannya tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi oleh DPRD."

Baca: MK Siap Menangani Sengketa Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19

"Jadi kita tidak memunculkan pemimpin baru atau proses untuk menunjuk pemimpin baru itu sulit  karena ditentukan oleh partai," ungkapnya.

Menurut Tito, dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, maka calon perorangan bisa muncul.

Sistem kaderisasi partai yang baik juga bisa memunculkan calon-calon baru dan wajah-wajah baru.

"Kita lihat beberapa negara tetangga kita, bahkan negara-negara lain yang menggunakan sistem pemilihan tertutup (mohom maaf) mungkin orangnya itu-itu saja."

Baca: KPU Terbitkan Surat Edaran 20/2020, Atur Pelaksanaan Tahapan Pilkada Sesuai Protokol Kesehatan

"Bahkan yang usianya mungkin sudah sangat sepuh, dia lagi yang dipilih karena adanya mekanisme tidak langsung."

"Tapi dengan pemilihan langsung warna positifnya kita melihat ada pemimpin-pemimpin baru, kita melihat adanya generasi-generasi calon-calon pemimpin di tingkat daerah yang bisa berkiprah di tingkat nasional," tandasnya.

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved