Piala Dunia 2010
Layar Lebar di Stadion Perkeruh Kontroversi Wasit
Hingga babak 16 besar, beberapa kontroversi keputusan wasit mewarnai Piala Dunia 2010. Pemicunya tayangan ulang di layar lebar stadion.

TRIBUNNEWS.COM - Hingga babak 16 besar, beberapa kontroversi keputusan wasit mewarnai Piala Dunia 2010. Yang mencolok dan jadi pembicaraan publik sepak bola dunia hingga hari ini adalah dianulirnya gol gelandang Inggris, Frank Lampard, ke gawang Jerman meski jelas-jelas melewati garis gawang. Namun, kelemahan penyelenggaraan Piala Dunia 2010 itu tidak hanya di lapangan, tetapi juga di luar lapangan.
Meski hajatan Piala Dunia pertama di Benua Afrika ini langsung ditangani FIFA bekerja sama panitia lokal Afrika Selatan, bukan berarti semuanya berjalan mulus. Dalam beberapa hal, FIFA dan panitia setempat tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Aturan atau prosedur penyelenggaraan itu juga kerap berbeda-beda di antara satu venue dengan venue lainnya.
Salah satu contohnya, soal tayangan ulang pada dua layar lebar di belakang gawang di setiap stadion. Sudah menjadi aturan standar umum penyelenggaraan sepak bola di seluruh dunia, dua layar lebar itu tidak boleh menayangkan tayangan-tayangan ulang yang diperkirakan bakal memantik keributan, perselisihan, atau kericuhan di lapangan maupun tribune penonton.
Namun, dalam beberapa kesempatan, FIFA kecolongan dalam hal itu. Salah satunya, saat laga 16 besar antara Argentina versus Meksiko di Stadion Soccer City, Johannesburg, Minggu (27/6) lalu. Ketika striker Argentina, Carlos Tevez, terperangkap off-side dan mencetak gol yang kemudian disahkan wasit Roberto Rosetti (Italia), layar lebar di belakang gawang tak luput menayangkan tayangan ulang peristiwa tersebut.
Akibatnya, tidak saja para pemain Meksiko yang langsung mengerubuti hakim garis sebagai aksi protes, tetapi juga Pelatih Javier Aguirre menjadi tersadar telah terjadi gol hasil off-side. Ia memang tidak ikut memprotes wasit, bahkan dalam jumpa pers seusai laga, ia tidak terlalu mempersoalkannya. Namun, ia sempat mengarahkan tangannya pada layar lebar yang menayangkan tayangan ulang gol off-side tersebut.
Memang, dalam kasus itu bisa dipahami dilema penanggung jawab bagian tayangan pada layar lebar stadion. Ia merasa harus mempertontonkan tayangan ulang tersebut karena, seperti biasa, setiap gol-gol yang tercipta selalu ditayangkan ulang. Selain untuk melayani penonton yang kelewatan melihat gol, hal itu juga untuk membuat atmosfer meriah di dalam stadion.
Tayangan ulang itu tidak dimaksudkan untuk melayani wasit, yang hingga hari ini dilarang mengambil keputusan berdasarkan rekaman video atau peralatan teknologi lainnya. Karena itu pula, wasit Rosetti dan asistennya bersikukuh bahwa gol Tevez yang off-side tetap sah meski keputusan itu salah.
Yang menggelikan
Masih terkait soal tayangan ulang di layar lebar stadion, ada hal menggelikan di Stadion Royal Bafokeng, Rustenburg, saat berlangsung laga Inggris versus Amerika Serikat, 12 Juni lalu. Sepanjang 90 menit, dua layar lebar di belakang gawang stadion itu sama sekali tidak hidup, alias gelap, alias off.
Agak mengherankan, di ajang sebesar Piala Dunia bisa terjadi layar lebar ngadat. Untung saja sejauh ini belum terjadi listrik padam seperti yang pernah terjadi saat Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007.
Aturan ”waiting list”
Hal lain yang membuktikan FIFA juga tidak konsisten adalah soal distribusi tiket waiting list bagi wartawan. Seperti diketahui, selain mengalokasikan jatah tiket tertentu bagi wartawan, FIFA juga menyiapkan jatah bagi mereka yang tidak kebagian tiket. Tiket-tiket waiting list berasal dari tiket wartawan yang karena berbagai hal tidak bisa datang ke stadion.
Namun, di lapangan terjadi aturan yang berbeda-beda soal pengaturan tiket waiting list dan kerap membingungkan wartawan. Di Stadion Loftus Versfeld, Pretoria, wartawan harus mencatat dirinya dalam daftar waiting list. Namun, tidak demikian halnya di Stadion Soccer City dan Ellis Park, Johannesburg. Di dua stadion ini, wartawan tinggal menunggu panggilan petugas media FIFA.
”Apakah Anda tadi menulis dalam daftar atau cuma mengajukan aplikasi lewat internet,” tanya seorang wartawan setelah Kompas mendapat tiket waiting list laga Argentina versus Meksiko. Di Stadion Peter Mokaba, Polokwane, wartawan bahkan bisa mengajukan semua jenis tiket waiting list, baik tiket nonton di tribune, tiket jumpa pers, maupun tiket mixed zone.
Ketidakjelasan aturan ini pernah coba ditanyakan kepada Le Blanc, salah seorang pejabat FIFA yang menangani urusan media. ”Ya, memang berbeda-beda, tetapi aturan hari ini seperti ini,” kilah Le Blanc, pejabat yang paling ditakuti di kalangan media karena ketegasan dan sikapnya yang tanpa pandang bulu, menjawab pertanyaan Kompas.
Wal hasil, dari sosoknya yang terlihat tegas, otoriter, dan berkuasa penuh atas pengelolaan sepak bola di seluruh dunia, FIFA pun kerap tidak konsisten menjalankan aturan. Karena itu, kita jadi paham, mengapa mereka menyetujui mantan terpidana tetap memimpin PSSI meski Standar Statuta FIFA tidak membolehkannya. Oh… FIFA. (*)