Langsung dari Afsel
Sayangnya... Indonesia Gagal Ya Jadi Tuan Rumah 2022
LIMA hari di Afrika Selatan membuat tubuh saya sudah mulai membiasakan diri dengan lingkungan yang terbilang ekstrem, ti
LIMA hari di Afrika Selatan membuat tubuh saya sudah mulai membiasakan diri dengan lingkungan yang terbilang ekstrem, tidak hanya di Pretoria sebagai base camp selama peliputan putaran final piala dunia 2010, melainkan juga beberapa kawasan lain. Kawasan seperti Centurion, Soweto, Sandton sampai Brooklyn yang memperlihatkan perbedaan cuaca ekstrem sempat membuat saya keder.
Bahkan dalam dua hari ini, level kesehatan
saya sedikit menurun akibat mobilitas tinggi di tengah suhu yang berbeda
pada masing-masing tempat tujuan. Bayangka saja, saat saya berada di
Pretoria, suhu masih beranjak pada level 2-6 derajad Celcius yang
membuat hidung sempat berdarah, tiba-tiba harus ke Johannesburh dan
Soweto, dua kota dengan suhu berkisar di angka 22-28 derajad Celcius,
suhu yang cukup panas untuk ukuran musim dingin di Afrika Selatan. Meski
begitu, keinginan untuk merasakan atmosfer sesungguhnya sepanjang Piala
Dunia 2010, membuat semuanya tidak terasa.
Apalagi kemarin, sebuah pesta luar biasa sudah menanti, yakni parade
timnas Afrika Selatan di sepanjang West Road, Sandton City. Bagi saya,
kalau sekedar seremoni parade mungkin sudah biasa, sama seperti tatkala
misalnya timnas Indonesia `mengarakkan diri mereka' di sebuah kota.
Tapi
yang berbeda adalah kegilaan suporter Bafana-Bafana dalam
mengekspresikan apa yang mereka mau untuk timnas mereka. Dansa, aneka
tarian dengan pelbagai busana sampai tak kalah seru adalah lengkingan
Vuvuzela dan Kuduzela yang sangat memekikkan telingan.
Saat Tribun bergabung bersama mereka, nuansa merinding bercampur mistis
benar-benar terasa. Bagaimana tidak, di sekitar kantor pusat Netcare dan
di depan Hotel Southern Sun, sebagai titik start, beberapa Sunggama
(dukun) tampak sibuk. Mereka seolah berkomat kamit demi kelancaran
acara dan kesuksesan timnas Afsel di piala dunia ke-19 ini. Saying,
begitu Tribun mengambil foto aksi mereka, tiba-tiba saja tiga orang
dukun mendekat dan tak membolehkan untuk memotret aksi mereka.
Menurut
mereka, itu pantangan dan sudah jadi tradisi tak ada foto mereka. "Jika
itu kami langgar, jelas ada malapetaka terhadap klien kami, dan kali ini
tentu saja timnas Afsel, kami tak ingin gagal," ucap seorang dukun,
dengan bahasa Inggris patah-patah.
Parade Bafana Bafana juga diikuti oleh para pejabat kota Johannesburg
dan otoritas Sandton City, sampai kalangan selebritis. Keberuntungan
kali ini berpihak pada saya. Saat tengah berdesak-desakan untuk mendekat
pada bus pemain dan berbicara dengan pelatih Carlos Alberto Parreira
dan kapten tim, Aaron Mokoena, tiba-tiba saja ada seseorang yang
nyeletuk dari belakang.
"Anda pasti dari Asia, saya pastikan Anda dari Indonesia atau Malaysia,
benar kan?". Reflek saya mengiyakan jawaban itu, tanpa melihat siapa
yang tanya.
Begitu selesai wawancara dengan kedua personel penting timnas tuan rumah itu, saya berniat untuk langsung pergi karena sudah ditunggu driver di perempatan Pick n Pay dan 77 Grayston Drive, tapi rencana itu mendadak gagal.
Orang yang bertanya pada saya ternyata masih mengikuti setiap perjalanan saya. Kali ini si orang asing tersebut langsung menarik lengan saya, dan saya pun reflek berbalik, dan alamak….ternyata dia seorang cewek cantik. Rambut panjang nan pirang sangat serasi dengan proporsi tubuh yang berpostur sekitar 185 cm, saya hanya ada di telinganya.
Tidak sendirian, dia bersama beberapa teman, dan mungkin semacam bodyguard, dan itu membuat saya masih terkesiap. Dia pun langsung menjabat tangan saya, tentu ala Afsel, yakni menggenggam telapak tangan, lalu memutarkan ibu jari, dan bertemu lagi di telapak tangan. Erat dan hangat, menandakan dia mungkin seorang ternama.
"Namaku Fellen,", ia memperkenalkan diri. Sementara temannya memperkenalkan diri sebagai Angelina. Saya santai
saja menanggapi itu semua.
Namun saya sempat heran, selain beberapa pria tegap seperti bodyguard,
orang-orang di sekitar kami melihat seolah takjub dengan Fellen.
Usut punya usut, ternyata cewek berusia 26 tahun tersebut adalah super model Afsel!. Dia seringkali tampil di acara seperti spring fashion show dan pernah tampil sebagai model di Fashion TV. Perbincangan pun mulai mengalir, mulai dari sepakbola sampai ketertarikan tentang Indonesia.
"Saya tahu Indonesia, tapi itu setelah
Bali. Pertama kenal adalah Bali, baru kemudian tahu kalau pulau indah
itu bagian dari Indonesia," sebut Fellen.
Karena tahu tentang Bali itulah, Fellen dan Angelina sangat
menyayangkan Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Padahal, dalam bayangan mereka, jika piala dunia hadir di sana, pergi ke
Indonesia adalah prioritas, tentu sembari menikmati alam Bali.
"Tahun lalu saya juga hadir saat Indonesia mempromosikan diri di Cape
Town, saya pikir mereka harus memberi kesempatan kepada negara Asia
Tenggara, dan sudah pasti pesona pariwisatanya tak kalah indah dengan
Afrika Selatan," ucap Fellen.
Saya pun hanya bisa tersenyum kecut. Namun di balik itu, Indonesia
seharusnya bisa memiliki cita-cita tinggi agar event empat tahunan ini
bisa hadir di bumi Nusantara. Seperti apa yang diucapkan Fellen, saya
pun berujar dalam hati, "Jika Indonesia jadi tuan rumah, pasti kehadiran
wanita-wanita seperti Fellen dan Angelina akan memberi nuansa tersendiri
bagi Indonesia,". Tapi sudahlah, lupakan Piala Dunia, lha wong ngurus
busway dan MRT saja tidak becus…