Langsung dari Afsel
Tidak Mandi sampai Tutupi Cap Antre dengan Plastik
IMRAN Mphalange hanya bisa tersenyum kecut tatkala ditanya apakah sudah mendapatkan tiket yang dia inginkan?
Editor:
Prawira

TRIBUNNEWS.COM - IMRAN Mphalange hanya bisa tersenyum kecut tatkala ditanya apakah sudah mendapatkan tiket yang dia inginkan?
Mengenakan kostus casual, kaos plus celana jins berwarna biru, membuat pria yang sebenarnya sudah berusia 60 tahun ini tampak lebih muda, ditambah perawakannya yang tegap membuat kumis yang berjer warna putih, plus postur sekitar 190 cm, menjadikan dirinya mudah dilihat di antara pengantri tiket lainnya.
Perbedaan dibanding dengan orang lain yang berada di sekelilingnya cukup terasa jika melihat pakaian yang ia kenakan. Lusuh, kumal, raut muka terlihat lelah dengan kerutan di dahi. Tas yang juga sudah cukup berdebu, menandakan kalau Imran sudah lama berada di tempat tersebut.
Sesekali ia membersihkan peluh yang kadang meluncur dari dahi dan keringat di bagian lengan. Wajahnya benar-benar menyiratkan sebuah perjuangan hebat yang masih harus ia lampaui.
Dan itu memang sedang ia rasakan sekarang. Bersama ratusan orang di Brooklyn Mall, Imran masih berharap bisa mendapatkan satu atau dua tiket yang bisa mengantar ke dalam stadion untuk merasakan pesta empat tahunan tersebut.
"Saya tak peduli berapa harga tiket, hal terpenting buatku adalah merasakan atmosfer pertandingan di dalam stadion, bagiku itu sangat penting karena belum tentu kami bisa meraih kesempatan itu lagi dalam hidup," tutur Imran.
Perjuangan Imran untuk memeroleh tiket pun sangat luar biasa. Tak peduli dengan usia dan kemungkinan kehabisan tenaga, ia sudah berada di Brooklyn Mall dua hari penuh. Pihak pengelola mall memang menyediakan satu lantai khusus yang diperuntukkan bagi orang yang akan mengantri pembelian tiket. Di tempat tersebut disediakan makanan dan toilet, namun tidak gratis karena mendapat charge dari pengelola sekitar 10 Rand atau Rp 13 ribu per hari.
Bagi Imran, semua itu sudah cukup membantu meski tetap saja ada rasa kesal karena sudah dua hari tak bisa mendapatkan tiket. "Dua hari dengan rasa bosan menunggu, panitia selalu bilang nanti akan tiba giliran sesuai dengan nomor yang sudah di cap pada bagian belakang telapak tangan, tapi tetap saja kami tak tahu kapan kami akan dipanggil," curhat Imran.
Pria yang berasal dari Pretoria ini mengaku sudah melampaui titik demi titik untuk mendapatkan tiket. Bagaimana tidak, sebelum seseorang sampai pada fase seperti Imran, mereka harus menjalani pendaftaran, verifikasi, pemilihan pertandingan dan penerimaan nomor antean yang dicap pada bagian belakang tangan. "Karena itulah kami tak mandi dan harus menutup tangan dengan plastik agar cap itu tak hilang tergerus air," imbuh Imran.
Nasib Imran masih lebih bagus ketimbang yang dialami Meghdad Abror. Boro-boro bisa masuk ke area level terakhir, hanya sekedar registrasi saja tidak bisa. Pasalnya status Abror berasal dari luar negeri alias foreigner. Pihak panitia sepetinya memang sangat membatasi warga asing dan lebih memprioritaskan warga lokal.
"Bagaimana dengan turis asing lain yang ingin membeli tiket langsung, seharusnya justru kami inilah yang mendapat prioritas, bukan warga lokal," ucap Abror sedikit geram. Pria berusia 32 tahun ini sampai di Afsel dua hari silam dan sudah mencari tiket Amerika Serikat versus Aljazair sejak di bandara OR Tambo.
Penjualan tiket memang menjadi persoalan tersendiri bagi panitia. Semuanya terkesan karut marut dan ada indikasi permainan segelintir pihak untuk mencari keuntungan. (Tribunnews.com/bud)