Kamis, 2 Oktober 2025

Anak Didik Susah Belajar, Guru Bingung Mengajar

Koneksi internet menjadi hal yang sangat penting saat pandemi covid 19 seperti sekarang ini.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Hendra Gunawan
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Ilustrasi: Sejumlah siswa saat mengikuti kegiatan sekolah via daring (sekolah online) di Rumah Aspirasi, Jalan Tambak Asri 187, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (13/10/2020). Rumah Aspirasi diinisiasi Puteri Indonesia 2014, Elvira Devinamira bersama adiknya, Shafira Novianti Adi. Surya/Ahmad Zaimul Haq 

*12 Ribu Sekolah Belum Ada Akses Internet

*76 Persen Guru Khawatir Sekolah Tatap Muka Saat Pandemi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koneksi internet menjadi hal yang sangat penting saat pandemi covid 19 seperti sekarang ini.

Adanya internet juga bisa membantu pembelajaran jarak jauh(PJJ).

Namun berdasarkan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) masih ada 12 ribu sekolah yang belum memiliki akses
internet.

Direktur Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud
Praptono mengatakan kendala minimnya jaringan internet ini terjadi di wilayah
tertinggal, terdepan, terluar (3T).

"Ketika kemudian anak-anak masih sebagian besar memiliki kendala online karena
di daerah 3T, yang secara umum persoalan listrik dan jaringan internet masih
bermasalah," ujar Praptono dalam webinar Suara Guru, Kamis (22/10).

Baca juga: KPAI Minta PJJ di Gowa Dievaluasi Akibat Pelajar Bunuh Diri

"Dapodik menyatakan 12 ribu sekolah kita belum punya akses internet, dan kita lihat
seluruhnya di daerah 3T.

Sementara 48 ribu satuan pendidikan punya problem
jaringan yang tidak baik, ada tapi tidak baik ini juga mayoritas di 3T," tambah
Praptono.

Menurut Praptono, lemahnya jaringan internet ini membuat 95 persen guru memilih
pembelajaran campuran antara daring dan luring.

Hal ini diketahui berdasarkan hasil survei kepada guru yang dilakukan Ditjen GTK Kemendikbud bersama Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI).

Baca juga: Bosan PJJ Alasan Siswa SMK Ikut Demo UU Cipta Kerja, Ada yang Dibayar Rp 5.000

"Di mana kurang kemampuan pembelajaran online penuh ditutupi atau diatasi
dengan sesekali melakukan pembelajaran tatap muka," kata Praptono.

Pada akhirnya lanjut Praptono, keterbatasan akses internet selama pandemi covid-
19 memaksa guru untuk mengadaptasi teknologi digital.

"Akhirnya semua guru mau tidak mau harus bisa menjalankan pendidikan jarak jauh," ucap Praptono.

Meski begitu, Praptono mengungkapkan mayoritas guru di Indonesia masih memiliki
kendala dalam melakukan pembelajaran berbasis teknologi informasi.

Kendala ini yang membuat proses pembelajaran menjadi tidak optimal dijalankan oleh para pengajar.

"Memang kemendikbud melakukan survei terkait PJJ. Salah satunya, kita dapatkan
60 persen guru kita punya permasalahan dalam pembelajaran IT," ungkap Praptono.

Baca juga: Nadiem Terima Keluhan Masyarakat Soal Borosnya Kuota Internet Selama PJJ

Praptono mengatakan Kemendikbud telah mencoba mencari solusi terhadap
kendala yang ditemui selama penerapan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi.

"Seiring perjakanan waktu dan berbagai upaya dilakukan, misal dengan bantuan
kuota, kemudian bimbingan teknis kepada guru, portal guru belajar, menyiapkan
media bahan ajar, RPP, praktek baik, termasuk bantuan infrastruktur di sekolah,"
ujar Praptono.

Seiring berjalannya waktu, Praptono mengungkapkan akhirnya terjadi penambahan
pemahaman dan adaptasi guru terhadap pembelajaran jarak jauh yang berbasis
teknologi digital.

"Tren bahwa kemampuan guru untuk bisa take over kegiatan-kegiatan akibat pandemi menunjukkan tanda-tanda ke arah baik," pungkas Praptono.

Guru PJJ

Hasil survei Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud menunjukan mayoritas guru
di Indonesia lebih memilih model pembelajaran jarak jauh.

Education Team Leader Wahana Visi Indonesia Mega Indrawati mengatakan sebanyak 95 persen memilih pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran campuran.

"Soal strategi belajar dari 95 persen guru setuju akan pembelajaran jarak jauh atau
blended learning,"ucap Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) lebih memilih pembelajaran jarak
jauh luring dibanding daring. Mega menduga hal ini kemungkinan karena
keterbatasan akses internet dan infrastuktur untuk pembelajaran secara daring.

"Sementara guru untuk anak berkebutuhan khusus cenderung memilih pembelajaran
daring," ujar Mega.

Selain itu, hasil survei ini juga menemukan bahwa guru dalam mengatasi masalah
dalam kegiatan belajar mengajar memilih berkonsultasi dengan teman sejawatnya di
satu sekolah atau sekolah lain.

Sementara guru di daerah 3T cenderung kurang
memiliki akses ke komunitas guru di satuan pendidikan.

Terkait dengan kebutuhan pembelajaran yang efektif, dan pemanfaatan teknologi
informasi, sebanyak 40 persen guru menyatakan butuh pelatihan.

"Terkait TIK, 40 persen guru 3T dan guru yang usianya lebih tua butuh pelatihan dasar TIK," kata Mega.

Selain itu, guru di daerah 3T juga lebih membutuhkan kompetensi Pola Hidup Bersih
Sehat (PHBS) sebanyak 54 persen. Sementara 31 persennya membutuhkan
kompetensi tentang kurikulum.

Bagi guru di wilayah non 3T, kompetensi psikososial lebih dibutuhkan. Guru pendidikan khusus juga membutuhkan kompetensi psikologis
untuk mempersiapkan peserta didik.

Survei dilakukan kepada 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi seluruh Indonesia. Survei dilakukan pada 18 Agustus hingga 5 September 2020.

Responden guru dari wilayah Non 3T 95 persen dan 3T 5 persen. Sebanyak 74
persen merupakan guru dari pendidikan umum, sementara 26 persen dari
pendidikan khusus atau inklusi.

Berdasarkan wilayah, 52 persen responden guru berasal dari daerah risiko penularan Covid-19 tinggi, dan sisanya dari wilayah Covid-19 dengan penularan rendah.

Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud juga melakukan diskusi kelompok terarah yang melibatkan 47 orang perwakilan asosiasi guru, serta guru dari wilayah 3T, SLB dan kepala sekolah.

Berdasarkan hasil survei juga 76 persen guru merasa khawatir untuk kembali
mengajar di tengah pandemi Covid-19.

"Pendapat guru terkait pembukaan sekolah, temuan utama 76 persen responden guru menyatakan bahwa sekolah kurang aman atau tidak bisa diprediksi.

Sementara 24 persen guru beropini akan aman dan kecil kemungkinan penyebaran virus," ujar Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) cenderung menyatakan aman karena tingkat kasus Covid-19 di wilayah ini lebih sedikit.

Selain itu, ada tren guru usia yang lebih tua lebih khawatir dengan
penularan Covid-19 di sekolah.

"Jika dibandingkan dari gender, yang perempuan punya kekhawatiran yang lebih
tinggi dibanding pria," kata Mega.

Guru pendidikan khusus inklusi lebih cenderung khawatir dibandingkan guru satuan
pendidikan umum. Mega mengungkapkan hal-hal yang menjadi kekhawatiran guru
adalah transmisi Covid-19.

Para guru khawatir menulari siswa atau sebaliknya guru yang tertular dari siswa. Serta kekhawatiran keluarga siswa maupun guru yang tertular.

"Juga kekhawatiran tentang belajar mengajar yang tidak nyaman dan kurang efektif.
Guru 3T juga lebih khawatir tentang pembelajaran dan Non 3T terkait masalah
kesehatan," ucap Mega.(Tribun Network/fah/wly)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved