Calon Presiden 2014
Kubu Prabowo Nilai Tak Terjadi Pilpres di Sejumlah Wilayah Papua
Tim kuasa hukum Merah Putih menjelaskan tak ada proses Pilpres di wilayah tersebut lantaran surat suara hanya dibagikan untuk kemudian dicoblos.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum Merah Putih dari kubu Prabowo-Hatta menilai proses pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) berupa pemungutan suara tidak terjadi di sejumlah kabupaten di Papua.
Maqdir Ismail, satu di antara anggota Tim kuasa hukum Merah Putih menjelaskan tak ada proses Pilpres di wilayah tersebut lantaran surat suara hanya dibagikan untuk kemudian dicoblos.
Dari keterangan yang diterima Tribunnews.com, Maqdir menyebut pihaknya menemukan setidaknya 12 kabupaten di Papua yang tak menjalankan apa yang disebut sebagai proses Pilpres.
Sebenarnya, kata Maqdir, kubu Prabowo-Hatta mengajukan keberatan terhadap hasil perhitungan suara di 12 kabupaten/kota di Papua yang mengunakan sistem Noken pada pleno di Komisi Pemilihan Umum (KPU) silam.
Beberapa kabupaten yang digugat antara lain Kabupaten Sarmi, Kepulauan Yapen, Nabire, Keroom, Kota Jayapura, Yalimo, Yahukimo, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan sejumlah kabupaten lainnya di Pegunungan Tengah Papua.
Pada sidang lanjutan permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (12/8/2014), Maqdir menyebut seorang saksi, Elvincent Dokomo memberikan keterangan di Kabupaten Dogiyai pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta mendapat angka nol.
“Kabupaten Dogiyai dapat nol karena ketua penyelenggara, beserta empat anggotanya itu memerintahkan PPS, PPD, sampai KPPS untuk mereka nomor satu kosong, semua suara dikasih ke nomor dua, jadi tidak ada pencoblosan,” tulis Maqdir menirukan kesaksian Elvincent.
Atas hal itu, Maqdir menilai Pilpres kali ini tidak berjalan dengan segala sistem yang telah disepakati.
"Ini sesuatu yang semestinya tidak terjadi," ujarnya.
Maqdir juga mengemukakan sejumlah kejanggalan di wilayah Sumatera Utara, khususnya Nias. Ia menyebut, ada saksi yang mengatakan ada pencoblosan yang dilakukan oleh KPPS.
"Jadi penyelenggara tingkat bawah yang melakukan pemilihan siapa yang akan mereka pilih. Saya kira tidak benar cara-cara seperti ini,” katanya.
Bahkan, kata Maqdir, seorang saksi lainnya memberikan kesaksian bahwa orangtuanya yang sudah meninggal pun tercatat ikut memilih.
“Orangtua yang sudah meninggal ini tercatat sebagai pemilih dan namanya tercatat empat kali sebagai pemilih, bahkan dirinya dan kakaknya tercatat enam kali sebagai pemilih,” terangnya.
Adapun anggota lain dari Tim Pembela Merah Putih, Firman Wijaya menyoroti data KPU yang ia klaim sulit dipertanggungjawabkan.
MK, kata Firman, perlu menguji jika dugaan sejumlah kecurangan berkaitan dengan tekanan, dan intimidasi yang merusak sistem penyelenggaraan Pemilu.
“Ini sudah masuk wilayah elections of crime yang dimensi kerusakannya itu luar biasa, maka, saya menawarkan konsep yang namanya whistle blower. Saksi-saksi ini harus dilindungi keamanannya karena keberanian mereka mengungkapkan fakta,” kata Firman.