Calon Presiden 2014
Pengamat: Tangkap Pelaku Bagi-bagi Uang
Menurut Ari Dwipayana politik uang di pilpres hanya bisa dilakukan oleh kekuatan politik berdana besar yang disokong oleh pendana besar.
Penulis:
Rachmat Hidayat
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AA Ari Dwipayana menganggap dugaan Sekretaris Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Fadli Zon membagi-bagikan uang, seperti yang diberitakan Tribunnews.com, Rabu (2/7/2014), semakin menambah kekhawatiran tentang maraknya politik uang di pemilu presiden tahun ini.
Terlebih, politik uang sudah nyata dan massif pada pemilu legislatif lalu.
“Pilpres 2014 berada di bawah bayang-bayang ancaman politik uang. Kekuatiran itu muncul melihat tren penggunaan politik uang dalam momen-momen elektoral selama ini. Dan dalam pemilu legislatif lalu praktik politik uang sangat nyata,” kata Ari di Jakarta, Kamis (3/7/2014).
Akademisi yang banyak menggeluti persoalan tentang pembiyaan partai politik itu merinci sejumlah bentuk politik uang.
Yang pertama adalah vote buying, dimana kandidat menebar uang untuk ditukarkan dengan suara. Menurut Ari, kasus surat berisi uang yang ditujukan kepada para guru adalah bentuk nyata dari bekerjanya politik uang. “Termasuk bagi-bagi uang di pasar itu juga vote buying,” ulasnya.
Selain itu, politik uang bisa dalam pola pork barrel atau gentong babi. Artinya, kandidat menjanjikan atau mengalokasikan sejumlah dana atau program tertentu pada kelompok pemilih.
“Model politik uang semacam ini relatif tersamar karena dikaitkan dengan kampanye program. Model pork barrel ini biasanya dilakukan oleh kandidat petahana atau yang didukung oleh kekuatan dalam pemerintahan,” lanjutnya.
Ada pula bentuk vote trading, dimana kandidat membeli suara dari penyelenggara pemilu.
“Ancaman vote trading sangat kuat dalam Pilpres 2014. Karena dalam praktik vote trading, kontestan hanya cukup mengivestasikan uangnya pada penyelenggara pemilu sehingga mereka bisa dibujuk untuk memanipulasi suara dalam rekapitulasi suara,” papar Ari.
Ditambahkannya, politik uang di pilpres memerlukan kapasitas finansial yang cukup besar karena menjangkau pemilih dengan ruang lingkup luas berskala Indonesia.
Karenanya, lanjut Ari, politik uang di pilpres hanya bisa dilakukan oleh kekuatan politik berdana besar yang disokong oleh pendana besar.
“Bisa saja ini sumber utamanya dari korporasi yang punya kaitan dengan elite politik, termasuk para mafia migas, mafia impor dan mafia mafia yang lain,” katanya.
Sementara untuk menyalurkan politik uang di pilpres, Ari menyebut hal itu memerlukan infrastruktur penyaluran dana yang masif. Menurutnya, ada potensi rezim yang tengah berkuasa terlibat di dalamnya.
“Potensi pelibatan rezim yang sedang berkuasa termasuk para kepala daerah yang jadi tim sukses sangat besar. Kebetulan koalisi pengusung Prabowo-Hatta didukung oleh partai yang sedang berkuasa serta kolaisi pendukungnya paling banyak punya kepala daerah,” sambung Ari.
Karenanya Ari mengajak semua pihak bisa mewaspadai dan melawan praktik politik yang secara massif.
“Tangkap pelakunya, dokumentasikan dan unggah ke media sosial. Penegakan hukumnya juga harus tegas. KPU harus keras pada unsur pelaksana pemilu yang terindikasi melakukan vote buying,” pungkasnya.